Selasa, 05 Juli 2011

Teknologi Pengemasan Gondorukem Dalam Rangka Meningkatkan Penjualan dan Menambah Penghasilan

I.      Pendahuluan
Hutan merupakan sumber kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan memiliki fungsi produksi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia baik yang berasal dari kayu dan non kayu. Produksi hutan yang berupa non kayu tersebut salah satunya berasal dari Pinus merkusii Jungh et de Vriese yang pada akhir daur hidupnya dapat disadap untuk menghasilkan getah yang akan diolah pada suatu industri hulu yaitu pabrik pengolahan getah pinus dan menghasilkan produk industri non kayu berupa gondorukem.

Produk gondorukem digunakan sebagai bahan baku yang penting bagi industri batik, kulit, sabun cuci, cat, isolator, kosmetik, kertas, vernis, ramuan semir sepatu, pelarut bahan organik, dan bahan pembuatan kamper sintesis.

Salah satu Badan Usaha Milik Negara yang melakukan pengolahan getah pinus adalah Perum Perhutani. Perum Perhutani memiliki pabrik-pabrik pengolah getah pinus baik di Jawa barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Produk gondorukem yang dihasilkan oleh Perum Perhutani  ditujukan untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Negara tujuan ekspor  untuk produk gondorukem adalah ke Bangladesh, Korea, Jepang, Karaci, Litagong, Cina, Taiwan, Pakistan, Perancis, Rotherdam, Polandia, Hanburg dan Laspysia.

Penghasilan Perum Perhutani Unit I dari hasil ekspor gondorukem pada tahun 2008 mencapai lebih dari Rp 200 Milyar bahkan untuk seluruh Perhutani penghasilan ekspor dari produk gondoruken mencapai lebih dari Rp 500 Milyar. Hal ini menunjukkan bahwa produk gondorukem sebagai hasil hutan bukan kayu produk yang dapat dijadikan tumpuan bagi Perum Perhutani.

Namun karena produk gondorukem lebih banyak ditujukan untuk ekspor, maka perlu diperhatikan teknologi pengangkutan dan pengirimannya. Dalam pengiriman, harus dilakukan pengemasan yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dengan maksud untuk menghindari terjadinya kerusakan mutu produk dalam pengiriman atau selama penyimpanan. Selain itu dalam pengemasan gondorukem untuk keperluan ekspor juga perlu dipertimbangkan ukuran kemasan yang dapat dimuat oleh container sehingga penempatannya dapat diatur sedemikian rupa agar pengangkutan bisa lebih optimal.

II.    Gondorukem
Gondorukem merupakan produk olahan dari getah pohon pinus (famili Pinaceae) yang saat ini merupakan komoditi andalan non migas yang bukan berasal dari kayu atau rotan (Susilowati, 2001 dalam Prawira, 2008). Jenis pohon pinus yang sering disadap adalah sebagai berikut :
-      Amerika       : Pinus palustris dan Pinus caribaeae
-      Perancis       : Pinus pinaster dan Pinus maritime
-      Spanyol       : Pinus pinaster
-      Austria         : Pinus laricio dan Pinus sylvestris
-      Portugis       : Pinus pinaster dan Pinus pinea
-      Rusia           : Pinus sylvestris
-      Indonesia     : Pinus merkusii

Menurut Badan Standardisasi Nasional (Anonim, 2001), gondorukem (Colophony) adalah padatan hasil penyulingan getah pohon pinus (Pinus merkusii). Nama lain gondorukem, antara lain gum rosin, pine resin, resin, siongka, kucing, dan sebagainya. Daerah penghasilnya tersebar luas di daerah pegunungan di Indonesia terutama di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Bali (Suryamiharja dan Buharman, 1986 dalam Prawira. 2001).

Gondorukem yang dihasilkan di Indonesia diklasifikasikan menjadi beberapa mutu yang ditentukan oleh Badan Standardisasi Nasional. Klasifikasi mutu dalam standar penggolongan gondorukem harus memenuhi syarat mutu dan syarat khusus yang telah ditetapkan. Mutu gondorukem yang dihasilkan dari pengolahan getah pinus dapat diklasifikasikan menurut warna, titik lunak, kadar kotoran, kadar abu, dan komponen menguap.

Klasifikasi Mutu gondorukem menurut Badan Standardisasi Nasional adalah :
Tabel 1  Klasifikasi mutu gondorukem
No.
Klasifikasi mutu
Tanda mutu
Dokumen
Kemasan
1.
Utama  (U)
X
X
2.
Pertama  (P)
WW
WW
3.
Kedua  (D)
WG
WG
4.
Ketiga  (T)
N
N

Berdasarkan tabel 1 tersebut dapat diketahui mutu gondorukem dapat diklasifikasikan menjadi 4 macam oleh Badan Standardisasi Nasional, yaitu mutu utama (X), mutu pertama (WW), mutu kedua (WG), dan mutu ketiga (N). Masing-masing mutu tersebut mempunyai persyaratan umum dan persyaratan khusus seperti tersaji selengkapnya pada Tabel 2 dan tabel 3.
Tabel 2  Persyaratan umum gondorukem
No.
Jenis uji
Persyaratan
1.
Bilangan asam
160 – 190
2.
Bilangan penyabunan
170 – 220
3.
Bilangan iod
5 - 25

Tabel 3  Persyaratan khusus mutu gondorukem
No
Jenis uji
Satuan
Persyaratan mutu
U
P
D
T
1.
Warna metode Lovibond Comparator

X
WW
WG
N
2.
Titik lunak
°C
> 78
> 78
> 76
> 74
3.
Kadar kotoran
%
< 0,02
< 0,05
< 0,07
< 0,10
4.
Kadar abu
%
< 0,01
< 0,04
< 0,05
< 0,08
5.
Komponen menguap
%
< 2
< 2
< 2,5
< 3

Mutu gondorukem ditentukan dari hasil pengujian warna gondorukem. Warna gondorukem ialah warna yang ditetapkan dibandingkan dengan warna standar Lovibond yang terdiri atas 15 warna (XC, XB, XA, X, WW, WG, N, M, K, I, H, G, F, E, dan D) (Badan Standardisasi Nasional,2001).
Kelas yang paling gelap yaitu kelas D digunakan untuk pembuatan minyak rosin, juga digunakan dalam industri linoleum dan vernis gelap. Kelas G dan K digunakan sebagai bahan “sizing” dalam industri sabun, bergantung pada kualitas sabun yang akan dibuat. Untuk kualitas sabun yang baik bahkan digunakan kelas yang berwarna lebih pucat. Kelas yang berwarna lebih pucat dari K terutama W – C dan W – W digunakan untuk pembuatan vernis yang berwarna pucat. Penggunaan gondorukem lainnya, antara lain sebagai bahan pembuatan “sealing wax”, bahan peledak dan sebagai bahan pengganti resin lainnya, untuk pelapis alat-alat yang dipegang tangan, sebagai bahan penggosok senar alat musik gesek, sebagai bahan pencampur dalam proses penyolderan, dalam pembuatan cat, tinta cetak, semen kertas, bahan pelitur kayu, plastik, kembang api, bahan waterproof untuk karton, dan sebagainya (Suryamiharja dan Buharman, 1986 dalam Prawira, 2008).

Negara yang menjadi sasaran ekspor gondorukem antara lain India, Amerika Serikat, Perancis, Kamerun, dan Belanda (Hadi, 2006). Pasar produk gondorukem dunia sebagian besar diserap oleh Aksonabel dari Belanda, Eropa, AS, dan India yang antara lain untuk bahan baku pembuatan tinta, cat, industri ban mobil, lem, dan vernis. Indonesia baru bias memenuhi kebutuhan gondorukem dunia kurang dari 10 persen.

Permintaan pasar internasional terhadap gondorukem Indonesia naik sejak akhir 2005. Hal ini disebabkan karena Pemerintah China menahan penjualan produk gondorukem keluar dari negaranya. Langkah China ini dilakukan untuk memenuhi pasokan gondorukem untuk industri dalam negeri sendiri yang dari tahun ke tahun terus meningkat.

Tingginya permintaan gondorukem ini juga dikarenakan keunggulan kualitas gondorukem Indonesia yang berasal dari pohon Pinus jenis Merkusi tersebut. Contohnya, keasamannya yang rendah dan kemampuannya menahan suhu tinggi, tingkat kelengketannya dan aromanya sangat disukai konsumen. Bidang usaha Perum Perhutani yang dimulai sejak tahun 1974 ini juga mampu menggairahkan perekonomian masyarakat dengan melibatkan mereka mulai dari pengadaan alat sadap (alat bacok dan batok kelapa), tenaga penyadap, angkutan, hingga kemasan/kaleng.

Pasar dunia saat ini cenderung mengalami peningkatan kebutuhan gondorukem, sehingga berapa pun produksi dunia langsung terserap oleh pasar. Permintaan yang tinggi tersebut mengakibatkan harga komoditas ini di pasar naik. Perum Perhutani menaikkan harga gondorukem mulai Januari 2006 ini dari 475 dollar AS per ton menjadi 750 dollar AS per ton. Kenaikan ini untuk mengantisipasi tingginya permintaan gondorukem di pasar dalam negeri maupun luar negeri belakangan ini.

Kenaikan ini sebetulnya karena kebutuhan pasar saja. Perum Perhutani berusaha menangkap peluang pasar yang ada. Perum Perhutani memiliki cukup dana untuk menanam kayu penghasil gondorukem dengan harga yang naik, sehingga meningkatkan jumlah produksi (Handadari, 2006 dalam Prawira, 2008).

Tahun 2006, Perum Perhutani berupaya meningkatkan produksi getah pinus sampai 20 persen dan produk gondorukem menjadi sekitar 70.000 ton. Peningkatan produksi itu, antara lain dengan menggunakan stimulan getah, ekspansi kerja sama ke luar Jawa dan penyadapan hutan pinus rakyat. Selain itu, peningkatan produksi dilakukan dengan memperpanjang daur tebang pinus dan riset bibit bocor getah bersama Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.

China kini merupakan produsen gondorukem terbesar di dunia dengan volume produksi mencapai 640.000 ton per tahun dan mengekspor sekitar 50 persen produksinya, sehingga mampu bertindak sebagai penentu harga gondorukem di pasar internasional. Perum Perhutani sebagai follower (pengikut) tidak dapat berbuat banyak karena harga jual ditentukan oleh China selaku penguasa pasar. Kendati demikian, Perum Perhutani terus mengamati celah-celah pasar yang ada agar harga jual produk dapat tetap terjaga bahkan meningkat. Direksi Perum Perhutani dalam berbagai pertemuan selalu menekankan harga gondorukem produksi BUMN di lingkungan kehutanan ini ditetapkan berdasarkan kekuatan pasok dan kebutuhan, biaya produksi, internal PHTI, dan misi perusahaan sebagai perusahaan sosial (Handadari, 2006 dalam Prawira, 2008).

III.  Teknologi Pengemasan Gondorukem
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan produk gondorukem adalah sifatnya yang mudah rusak terutama dalam rangka penyimpanan dan pengangkutannya ketika pengiriman. Oleh karena itu perlu dilakukan teknologi pengemasan untuk produk gondorukem yang dihasilkan.
Teknologi pengemasan gondorukem yang dihasilkan Perum Perhutani selama ini dilakukan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia dimana gondorukem disajikan dalam bentuk padatan, secara baik dan kuat dengan bahan yang dapat mempertahankan mutunya. Pengemasan dapat dilakukan dengan drum baja lapis seng tebal (BJLS) 25 atau berukuran tebal 0,25 mm. Berat bersih gondorukem (240 + 1,2) kg atau sesuai permintaan.

Untuk penandaannya, pada setiap drum kemasan gondorukem dicantumkan :
-      Nama barang
-      Produsen
-      Nomor produksi
-      Berat bersih
-      Mutu barang
-      Buatan Indonesia

Namun selama ini, kemasan dengan menggunakan drum sebagai kemasannya memberikan kendala dalam hal pengangkutannya, karena jumlah yang dapat ditata dalam container pengangkutan masih belum optimal. Karena bentuknya yang silinder, maka dalam penataannya, masih terdapat ruang kosong dalam container yang jika dihitung dapat memberikan penghasilan yang cukup banyak. Untuk mencari nilai tambah yang diinterpretasikan kenaikan nilai jual suatu produk yang disetujui atau dianggap penting oleh pembeli, maka perlu dilakukan inovasi dalam hal pengemasan gondorukem sehingga dalam pengangkutannya dapat lebih optimal dan aman atau terhindar dari kerusakan selama penyimpanan dan pengiriman.

Dengan adanya negoisasi dengan beberapa pembeli di dalam dan luar negeri untuk kemasan gondorukem, pada tahun 2008, dilakukan uji coba kemasan gondorukem dengan menggunakan kardus.

IV.   Teknologi Pengemasan Kardus untuk Gondorukem
Seperti telah dibahas pada bagian terdahulu, pemasaran produk Gondorukem pada umumnya dikemas dalam kemasan berbentuk Drum yang terbuat dari Baja Lapis Seng (BJLS) dengan ketebalan kemasan      0,25 mm.
Pada pemakaiannya kemasan produk Gondorukem harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditetapkan dengan maksud untuk menghindari terjadinya kerusakan mutu produk dalam pengiriman atau selama penyimpanan.
Pada tahun 2008, Pabrik Gondorukem di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah mencoba melakukan terobosan pembuatan alternatif Kemasan  sekaligus merupakan upaya menangkap peluang dan harapan pelanggannya atau dengan kata lain mencari nilai tambah dari pemasaran produk gondorukem. Terobosan yang dilakukan adalah dengan melaksanakan pembuatan kemasan produk Gondorukem Box dari Kertas Kardus/Karton ukuran 36 x 36 x 24 Cm berat @ 25 Kg. Beberapa kelebihan kemasan kardus @ 25 Kg ini disamping untuk memudahkan pengangkutan dan penjualannya juga kemasannya dapat didaur ulang, sehingga juga mengurangi pencemaran lingkungan.
Dalam pengirimannya Produk Gondorukem kemasan Box dipacking dengan menggunakan Pallet, dimana dalam satu Pallet berisi 3 x 3 x 4 Box = 36 Box (900 Kg), sedangkan dalam satu Container 20’ berisi 20 Pallet (18 Ton). Bilamana dalam satu container 20’ tanpa menggunakan Pallet dapat berisi 21,6 Ton atau 2,4 Ton lebih banyak dibanding dengan kemasan Drum (19,2 Ton).
Manfaat bagi Perum Perhutani terdapat efisiensi biaya kemasan sebesar   Rp. 41,6/Kg atau Rp. 41.600,-/Ton dan tambahan harga untuk Pasar Luar Negeri sebesar US$ 20/ton atau (Kurs 1 US$ = Rp. 9.000,-)                    Rp. 180.000,-/Ton, dan untuk pasar Dalam Negeri sebesar Rp. 1.020,-, sehingga total efisiensi setiap volume 1 Ton produk Gondorukem box sebesar Rp. 221.600,- untuk ekspor dan Rp. 1.061.600,- untuk penjualan Dalam Negeri.
Ujicoba pemasaran produk dalam rangka penjajagan pasar dunia telah dilakukan dengan negara tujuan ekspor :
-      Busan – Korea sebanyak 1 Container (FCL) oleh PT. Milatronika Surabaya,
-      Nava Seva – India sebanyak 1 FCL oleh PT. Alam Jaya Loka,
-      Casablanka – Maroko sebanyak 2 FCL oleh Alam Jaya Loka,
-      Keelung – Taiwan sebanyak 2 FCL oleh Triasagung.

Sedangkan untuk Pasar Dalam Negeri telah dipenuhi permintaan dari       PT. Wiwa Textile sebanyak 9,25 ton dengan harga Rp. 7.810.000,-/Ton atau lebih mahal Rp. 1.020,-/kg dibandingkan  dengan harga jual dasar yang berlaku di Perum Perhutani.

Langkah-langkah yang dilakukan merupakan upaya untuk memberikan Nilai tambah produk yang dihasilkan dari gondorukem produksi Perum Perhutani.
V.     Penutup
Dengan melakukan teknologi pada kemasan gondorukem untuk kepentingan ekspor, diperoleh beberapa nilai tambah untuk produk gondorukem yang dikemas dalam kemasan kardus yaitu :
-      Jumlah yang diekspor  dalam satu kali angkut lebih banyak
-      Penghasilan yang lebih tinggi
-     Peluang pencemaran lingkungan yang lebih rendah karena kemasan kardus dapat didaur ulang.
VI.   Daftar Pustaka

Anonim. 2008. SNI 01-5009.12-2001 (http://www.dephut.go.id/Halaman/ STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/SNI/Gondorukem.html). Diakses 20  Januari 2010
Anonim. 2009. Pabrik Gondorukem dan Terpentin (http://www.kbmink1.perumperhutani.com/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=34). Diakses 20 januari 2010
Gumbira, E.S. 1999. Manajemen Pasca Panen Produk Agribisnis dan Agroindustri untuk Ekspor. (http://www.akademik.unsri.ac.id/ download/journal/files/baijournal/Endang_Gumbira_Said_manajemen_pasca.pdf.) diakses 20 Januari 2010
 Prawira. 2008. Gondorukem  (http://yprawira01.blogspot.com/2008/10/gondokurem.html). Diakses 15 Januari 2010.
Teja. Muhammad A.S. 2008. Analisis industri dan pemilihan strategi untuk meningkatkan produksi gondorukem Perum Perhutani(http://elibrary.mb.ipb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=mbipb-12312421421421412-muhammadte-644&q=Hierarchy). Diakses 21 Januari 2010
READ MORE - Teknologi Pengemasan Gondorukem Dalam Rangka Meningkatkan Penjualan dan Menambah Penghasilan

Peranan Manajemen Teknologi Agribisnis Pada Usaha Minyak Kayu Putih

Pendahuluan
Agribisnis sebagai seluruh kegiatan usaha yang berkaitan (menunjang dan atau ditunjang) dengan sektor pertanian dalam arti luas (pertanian, peternakan, perikanan, dan kehutanan) merupakan sektor usaha yang sejalan dengan basis sumberdaya (resources base) Indonesia (Anonim. 2009) dan karenanya menjadi satu-satunya sektor usaha yang terbukti memiliki daya tahan tehadap krisis ekonomi yang. menimpa Indonesia sejak tahun 1997. keberhasilan pengembangan agribisnis dengan sendirinya akan mewujudkan basis ekonomi rakyat yang kuat  (Wrihatnolo. 2008).
Namun demikian, produk agribisnis Indonesia masih lemah berhadapan dengan membanjirnya produk dari negara-negara lain sebagai konsekuensi globalitas dan perdagangan bebas. Karenanya, produk agribisnis Indonesia haruslah memiliki keunggulan kompetitif disamping keunggulan komparatif agar mampu bersaing di pasar global.
Minyak kayu putih sebagai salah satu produk agribisnis/agroindustri di Indonesia sebetulnya merupakan salah satu produk yang mempunyai peluang pasar yang masih terbuka lebar.  Saat ini, di dunia hanya ada dua produsen minyak kayu putih, yakni Indonesia dan Vietnam dengan total produksi diperkirakan 600 ton per tahun dengan nilai 2 juta dollar AS. Lahan kayu putih di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur seluas 12.000 hektar bisa menghasilkan 300 ton minyak kayu putih per tahun atau separuh dari total produksi dunia. Sedangkan di Kepulauan Ambon kini hanya memproduksi 90 ton minyak kayu putih per tahun. Namun, dengan tingkat produksi sebesar itu, kebutuhan minyak kayu putih di Indonesia 1.500 ton per tahun belum tercukupi. Oleh karena itu, sampai sekarang Indonesia masih mengimpor 1.000 ton minyak ekaliptus sebagai pengganti minyak kayu putih dengan devisa sekitar 6 juta dollar AS. (Anonim. 2003).
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan hasil produksi minyak kayu putih di Indonesia, agar menjadi produk agribisnis yang unggul dan berdaya saing tinggi.
Pendekatan Teknologi Bagi Pengembangan Produk Minyak Kayu Putih
Minyak kayu putih merupakan minyak atsiri hasil penyulingan dari daun kayu putih dari spesies Melaleuca cajuput  L. yang memiliki aroma/bau yang khas dan memiliki kadar cineol yang cukup tinggi. Minyak kayu putih banyak disukai orang dan mempunyai manfaat untuk obat-obatan, wangi-wangian dan insektisida. Minyak kayu putih biasa digunakan untuk obat sakit perut, obat kulit, obat reumatik gangguan pencernaan dan ekspektoran. Fungsi tersebut tidak dimiliki oleh minyak-minyak atsiri yang lain.
Untuk menjadi produk unggulan dan berdaya saing tinggi, maka dalam menghasilkan produk minyak kayu putih harus dilaksanakan peningkatan produktivitas dan efisiensi dalam suatu proses produksi dengan memperhatikan syarat-syarat  dan kriteria mutu yang ditetapkan. Minyak kayu putih harus memenuhi syarat  dan kriteria mutu yang ditetapkan baik untuk dalam negeri (SNI= Standar Nasional Indonesia)) ataupun untuk ekspor (SPS = Sanitary and physosanitory Measures ) yang sering disebut proteksi baru  dalam bidang perdagangan  komoditi hasil pertanian terutama untuk ekspor ke Jepang, Eropa dan Amerika Serikat. Selain itu berbagai upaya pengendalian hama terpadu dan pengendalian pupuk organik serta teknologi-teknologi lain yang ramah lingkungan perlu terus dikembangkan untuk mengisi ceruk pasar kalangan sadar lingkungan yang semakin luas terutama di luar negeri (Gumbira. 1999).
Untuk memenuhi persyaratan tersebut di atas, maka penanganan produk minyak kayu putih bisa dilakukan pada pada beberapa kegiatan pokok, yaitu :
1.    Pendekatan teknologi budidaya kayu putih
Dimulai dari teknik pemilihan bibit unggul,  teknik pemeliharaan tanaman kayu putih dengan melakukan intensifikasi pengendalian hama terpadu dan pengendalian pupuk organik.
2.    Pendekatan teknologi produksi minyak kayu putih
Teknologi penyulingan minyak kayu putih menggunakan teknologi yang ramah lingkungan mulai penyulingan daun kayu putih sampai dengan penanganan limbahnya (cair maupun padat). Teknologi penyulingan dengan pemenuhan syarat dan ketentuan penyulingan mulai dari bahan baku, bahan penolong maupun peralatan penyulingan yang  dapat berjalan dengan lancar akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi produk minyak kayu putih. Teknologi penanganan limbah padat dengan menggunakannya kembali sebagai bahan baku boiler dan penanganan limbah cair yang juga dapat dipergunakan kembali untuk air yang dipanaskan di dalam boiler  juga akan meningkatkan efisiensi.
3.    Pendekatan teknologi pengemasan
Berfungsi untuk melindungi produk dari kerusakan akan fisik, kimiawi maupun mikrobiologik, sebagai alat transportasi komoditi maupun alat promosi dan pemberi informasi. Teknologi pengemasan yang baik akan meningkatkan daya saing produk terhadap produk-produk lain sejenis.
4.    Pendekatan teknologi Pemasaran
Harga jual produk minyak kayu putih yang rendah, teknik pemasaran yang tepat dan cepat akan meningkatkan daya saing dalam penjualan produk sehingga bisa menjadi salah satu keunggulan kompetitif.


Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan melakukan pendekatan-pendekatan teknologi tersebut di atas dilakukan suatu manajemen teknologi agribisnis  yaitu suatu sistem yang difokuskan untuk mengorganisasi dalam mencari jalan untuk meningkatkan produktivitas dan mempersingkat waktu pelayanan (market) dengan produk berkualitas tinggi dan biaya rendah.
Dengan melaksanakan manajemen teknologi agribisnis, maka produk minyak kayu putih sebagai produk agribisnis/agroindustri yang dihasilkan akan mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, sehingga bisa  bersaing di kancah perdagangan global.
Daftar Pustaka
Anonim. 2009. Agribisnis. (=http://id.wikipedia.org/wiki/agribisnis). Diakses 28 oktober 2009
Gumbira, E.S. 1999. Manajemen Pasca Panen Produk Agribisnis dan Agroindustri untukEkspor.http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/baijournal/Endang_Gumbira_Said_manajemen_pasca.pdf. diakses 3 November 2009
Gumbira, E.S. 2001. Pertimbangan Teknologi Dalam Pemberdayaan Pertanian Agribisnis Dan Agroindustri Yang Berkelanjutan. (=http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptipbmma-gdl-grey-2001-e-4718-egum&q=teknologi%20agribisnis). Diakses 3 November 2009
Nelawati. 2004. Analisis manajemen teknologi untuk meningkatkan inovasi perusahaan (studi kasus pada industri pengolahan rotan pt. fairco agung kencana).(=http://elibrary.mb.ipb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=mbipb-12312421421421412-nelawati-654&q=manajemen%20teknologi.) Diakses 2 November 2009
Wrihatnolo, R.. 2008. Daya Saing Nasional dan Agroindustri (Suatu Pendekatan Pembangunan Lintas sektor (http:// www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2858/) . diakses 4 November 2009
Anonim, 2003. Pasokan kayu Putih masih andalkan impor. (=http://www.bisnisjakarta.com/artikel.html?kategori=Bisnis_Jakarta&id=1204). Diakses 3 November 2009
READ MORE - Peranan Manajemen Teknologi Agribisnis Pada Usaha Minyak Kayu Putih