Selasa, 07 Juni 2011

Penyimpangan Etika Bisnis

I.            PENDAHULUAN
Etika merupakan pemikiran kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun kelompok (Yosephus. 2010).

Dalam suatu bisnis, mempraktekkan etika berarti mempraktekkan tata cara bisnis yang sopan dan santun  sehigga kehidupanbisnis bisa menyenangkan karena saling menghormati, menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan. Berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Penyimpangan atau pelangaran etika bisnis bisa terjadi ketika hal-hal tersebut tidak dipatuhi oleh para pelaku bisnis.

Di Indonesia, banyak terjadi masalah  penyimpangan etika bisnis, bahkan sampai pada tataran yang bisa menyebabkan bencana nasional. Berikut  uraian mengenai etika bisnis, penerapan etika bisnis dan penyimpangan etika bisnis yang terjadi di Indonesia baik dalam tingkatan masyarakat, perusahaan maupun negara.


II.         ETIKA BISNIS
Menurut KNKG (2010), pengertian Etika bisnis mengacu pada penerapan prinsip-prinsip etika pada suatu kondisi bisnis, khususnya dalam menghadapi situasi dilematis dalam bisnis (business dilemma). Dilema bisnis timbul bilamana terdapat situasi bisnis, dimana keputusan yang diambil menghadapi dua atau lebih pilihan yang mempunyai dampak yang berbeda yang akan mempengaruhi :
a.    Kemampuan bersaing perusahaan dan profitabilitasnya dan
b.    Pengaruh yang kurang baik bagi para pemangku kepentingan lainnya.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah:
1.    Pengendalian diri
2.    Pengembangan tanggung jawab social (social responsibility)
3.    Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
4.    Menciptakan persaingan yang sehat
5.    Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
6.    Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi)
7.    Mampu menyatakan yang benar itu benar
8.    Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke bawah
9.    Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
10. Menumbuh-kembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan

III.      PRINSIP PENERAPAN ETIKA BISNIS DAN CIRI BISNIS YANG BERETIKA
3.1.       Prinsip Penerapan Etika Bisnis
Berikut ini adalah 10 Prinsip di dalam menerapkan Etika Bisnis yang positif:
1.     Etika Bisnis itu dibangun berdasarkan etika pribadi: Tidak ada perbedaan yang tegas antara etika bisnis dengan etika pribadi. Kita dapat merumuskan etika bisnis berdasarkan moralitas dan nilai-nilai yang kita yakini sebagai kebenaran.
2.     Etika Bisnis itu berdasarkan pada fairness. Apakah kedua pihak yang melakukan negosiasi telah bertindak dengan jujur? Apakah setiap konsumen diperlakukan dengan adil? Apakah setiap karyawan diberi kesempatan yang sama? Jika ya, maka etika bisnis telah diterapkan.
3.     Etika Bisnis itu membutuhkan integritas. Integritas merujuk pada keutuhan pribadi, kepercayaan dan konsistensi. Bisnis yang etis memperlakukan orang dengan hormat, jujur dan berintegritas. Mereka menepati janji dan melaksanakan komitmen.
4.     Etika Bisnis itu membutuhkan kejujuran. Bukan jamannya lagi bagi perusahaan untuk mengelabuhi pihak lain dan menyembunyika cacat produk. Jaman sekarang adalah era kejujuran. Pengusaha harus jujur mengakui keterbatasan yang dimiliki oleh produknya.
5.     Etika Bisnis itu harus dapat dipercayai. Jika perusahaan Anda terbilang baru, sedang tergoncang atau mengalami kerugian, maka secara etis Anda harus mengatakan dengan terbuka kepada klien atau stake-holder Anda.
6.     Etika Bisnis itu membutuhkan perencanaan bisnis. Sebuah perusahaan yang beretika dibangun di atas realitas sekarang, visi atas masa depan dan perannya di dalam lingkungan. Etika bisnis tidak hidup di dalam ruang hampa. Semakin jelas rencana sebuah perusahaan tentang pertumbuhan, stabilitas, keuntungan dan pelayanan, maka semakin kuat komitmen perusahaan tersebut terhadap praktik bisnis.
7.     Etika Bisnis itu diterapkan secara internal dan eksternal. Bisnis yang beretika memperlakukan setiap konsumen dan karyawannya dengan bermartabat dan adil. Etika juga diterapkan di dalam ruang rapat direksi, ruang negosiasi, di dalam menepati janji, dalam memenuhi kewajiban terhadap karyawan, buruh, pemasok, pemodal dll. Singkatnya, ruang lingkup etika bisnis itu universal.
8.     Etika Bisnis itu membutuhkan keuntungan. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang dikelola dengan baik, memiliki sistem kendali internal dan bertumbuh. Etika adalah berkenaan dengan bagaimana kita hidup pada saat ini dan mempersiapkan diri untuk masa depan. Bisnis yang tidak punya rencana untuk menghasilkan keuntungan bukanlah perusahaan yang beretika.
9.     Etika Bisnis itu berdasarkan nilai. Perusahaan yang beretika harus merumuskan standar nilai secara tertulis. Rumusan ini bersifat spesifik, tetapi berlaku secara umum. Etika menyangkut norma, nilai dan harapan yang ideal. Meski begitu, perumusannya harus jelas dan dapat dilaksanakan dalam pekerjaan sehari-hari.
10.  Etika Bisnis itu dimulai dari pimpinan. Ada pepatah, “Pembusukan ikan dimulai dari kepalanya.” Kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap corak lembaga. Perilaku seorang pemimpin yang beretika akan menjadi teladan bagi anak buahnya
Di dalam persaingan dunia usaha yang sangat ketat ini, etika bisnis merupakan sebuah harga yang tidak dapat ditawar lagi. Seorang konsumen yang tidak puas, rata-rata akan mengeluh kepada 16 orang di sekitarnya. Dalam zaman informasi seperti ini, baik-buruknya sebuah dunia usaha dapat tersebar dengan cepat dan massif. Memperlakukan karyawan, konsumen, pemasok, pemodal dan masyarakat umum secara etis, adil dan jujur adalah satu-satunya cara supaya kita dapat bertahan di dalam dunia bisnis sekarang.

3.2. Ciri dari bisnis yang Bertetika

a.         Tidak merugikan orang lain atau pebisnis lain
b.        Tidak menyalahi aturan-aturan
c.         Tidak melanggar hukum
d.        Tidak menciptakan suasana keruh pada saingan bisnis
e.          Ada izin usaha yang jelas dan juga sah secara aturan dan hukum


IV.        PENYIMPANAN/PELANGGARAN ETIKA BISNIS DI INDONESIA
Di Indonesia, etika bisnis merupakan sesuatu yang lama tetapi sekaligus baru. Sebagai sesuatu yang bukan baru, etika bisnis eksis bersamaan dengan hadirnya bisnis dalam masyarakat Indonesia, artinya usia etika bisnis sama dengan usia bisnis yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.Dalam memproduksi sesuatu kemudian memasarkannya, masyarakat Indonesia tempo dulu juga telah berpatok pada pertimbangan-pertimbangan untung dan rugi. Namun dengan ciri khas masyarakat Indonesia yang cinta damai, maka masyarakat Indonesia termotivasi untuk menghindari konflik-konflik kepentingan termasuk dalam dunia bisnis.

Secara normatif, etika bisnis di Indonesia baru mulai diberi tempat khusus semenjak diberlakukannya UUD 1945, khususnya pasal 33. Satu hal yang relevan dari pasal 33 UUD 45 ini adalah pesan moral dan amanat etis bahwa pembangunan ekonomi negara RI semata-mata demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang merupakan subyek atau pemilik negeri ini. Jadi pembangunan ekonomi Indonesia sama sekali tidak diperuntukkan bagi segelintir orang untuk memperkaya diri atau untuk kelompok orang tertentu saja yang kebetulan tengah berposisi strategis melainkan demi seluruh rakyat Indonesia.

Dua hal penting yang menjadi hambatan bagi perkembanan etika bisnis di Indonesia adalah budaya masyarakat Indonesia dan konsisi sosial-politik di Indonesia.
Hal yang menghambat etika bisnis di indonesia dari segi budaya adalah masih menguatnya prinsip kekeluargaan dalam masyarakat.
Hampir semua perselisihan atau pertentangan antar kelompok diharapkan akan beres begitu saja, jika pendekatan yang dipakai adalah kekeluargaan. Secara etika bisnis, hal ini tidak memadai. Misalnya atas nama kekeluargaan seseorang yang meskipun kekurangan uang dapat membeli barang dari seorang pebisnis yang memiliki pertalian keluarga dengan cara tidak lunas dengan janji lisan akan membayar atau melunasi barang tersebut beberapa saat kemudian. Secara kekeluargaan mungkin memadai, tetapi tidak memadai secara etika bisnis. Apalagi kenyataan juga membuktikan bahwa atas nama kekeluargaan janji-jani seperti itu kerap tidak ditepati, seperti misalnya dalam contoh di atas merasa sungkan untuk menagih apa yang dijanjikan kerabatnya itu.
Bukti ilmiah bahwa secara moral prinsip kekeluargaan tidak memadai dapat ditemukan dalam teori Lawrence Cohlberg tentang tahap-tahap perkembangan kompetensi penilaian moral Yosephus. 2010).  Moralitas, menurut Cohlberg,  pada tahap ketiga, acuan penilaian tentang yang baik dan buruk didasarkan pada penilaian kelompok akrab (keluarga, teman, guru, dll.). Namun, moralitas seperti itu belum memadai untuk dunia yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan anonim seperti negara, bangsa dan agama atau nilai fairness dan otonomi moral. Tindakan memakai barang sebelum melunasi barang tersebut dengan sendirinya mengancam tatanan sosial-ekonomi masyarakat (tahap ke-empat). Selain itu,  tindakan  menggunakan barang sebelum dilunasi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, yakni mendapatkan bayaran atas barang yang laku terjual atau barang yang telah dibeli. Pada tahap kelima, menurut Cohlberg, perjanjian jual beli harus ditaati, namun prinsip kekeluargaan yang dianut telah menodai hal tersebut.

Kondisi sosial politik Indonesia juga menghambat perkembangan etika bisnis bila dilihat dalam konteks etika bisnis dengan menyentuh peran negara dalam sistem perekonomian nasional.. Peran pemerintah sebagai regulator sangat menentukan tinggi rendahnya kesejahteraan rakyat. Menurut banyak penelitian, terdapat sejumlah kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi dan bisnis semestinya dikaji dan dipertimbangkan kembali karena belum sepenuhnya memihak kepada kepentingan rakyat, misalnya infus uang negara kepada bank-bank swasta (BLBI), bantuan langsung tunai, BLT, Kasus Bank Duta atau  kasus bank century

Secara imperatif katagoris, kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan BLBI belum memadai. Suara-suara kontra yang mempersoalkan kebijakan ekonomi pemerintah sebagai kebijakan yang tidak populis merupakan indikatornya. Pemebrian BLBI tanpa pengontrolan yang melekat dan tanpa sangsi hukum yang jelas dan tegas akan memberi peluang kepada penerima BLBI untk mencari celah-celah dan menyalahgunakan bantuan tersebut. Bantuan yang diterima akan dianggap sebagai kesempatan emas untuk sesuatu yang lain di luar tujuan asalnya. Bantuan tersebut tidak dipakai sebagai sarana penyadaran, pembelajaran dan penigkatan tanggung jawab moral bagi si penerima karena absennya pengawasan dan penegakan hukum secara ketat.
Hal yang sama juga terjadi pada kasus BLT kepada rakyat yang tidak mampu. Akurasi penentuan rakyat mana yang mampu dan yang tidak mampu dipertanyakan banyak pihak. Ternyata sikap kekeluargaan masih kuat mempengaruhi proses penetapan siapa yang sepatutnya menerima BLT. Jumlah BLT yang diterima oleh yang berhak di sejumlah daerah dengan besaran yang tidak utuh juga patut dipersoalkan secara moral. Hal lain yang patut disoroti dari BLT adalah sikap mental para penerimanya. Dalam diri penerima BLT, akan timbul sikap ketergantungan kepada pemerintah. Hal ini tentu berpotensi akan memperlemah daya juang mereka untuk hidup. Mereka dikondisikan untk menjadi penerima bantuan, bukan dididik untuk menjadi mandiri. Hal yang tentu bertentangan dengan  tanggung jawab moral dan hormat terhadap diri sendiri. Kemampuan penerima BLT untuk mengembangkan diri direlativisir oleh pemberian BLT. Apalagi, hakikat bLT hanya merupakan kebijkana pemerintah yang secara hukum hanya diperkenankan menjabat selama dua periode. Tidak ada kepastian periode selanjutnya akan melanjutkan kebijakan tersebut. Hal yang perlu menjadi pertimbangan yang matang  tidak hanya diperlukan sehubungan dengan kelanjutan kebijakan tersebut, tetapi juga penghentiannya karena kedua alternatif tersebut sama-sama mengandung resiko yang serius. Dengan demikian, secara moral, pemberian BLT semestinya dipikirkan secara menyeluruh.

Pada tingkat perusahaan di Indonesia, juga terjadi pelanggaran etika bisnis. Banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran, terutama dalam kinerja keuangan peusahaan karena tidak  lagi membudayakan etika bisnis agar orientasi strategik yang dipilih semakin baik.
Kasus pelanggaran etika bisnis yang dilakukan oleh perusahaan di Indonesia sebagao contoh adalah kasus pelanggaran dalam penyampaian laporan keuangan.  Hampir 6,91% dari perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di BEJ tidak lengkap menyampaikan laporan keuangannya. Hal ini menunjukkan kecurangan untk meraih kemenangan. Laporan yang tidak transparan dapat menimbulkan hubungan istimewa (kolusi dan memberikan peluang untuk korupsi. Tingkat perhatian perusahaan terhadap perilaku etis juga sangat menentukan karena dalam jangka panjang bila perusahaan tidak memberikan perhatian pada perilaku etis, maka kelangsungan hidupnya akan terganggu dan akan berdampka pula pada kinerja keuangannya. Praktek ini bisa merugikan kerugian perusahaan lain, masyarakat maupun negara.

Contoh lain adalah kasus TM On pada perusahaan Telkomsel. Dimana untuk mendapatkan layanan gratis menelepon ke sasama operator selama 5.400 detik (90 menit), pulsa pelanggan akan dikurangi Rp 3.000 setelah mendaftar melalui SMS TM ON yang dikirim ke nomor operator. Namun pelanggan sering kecewa karena layanan selalu gagal dan hanya dijawab dengan pernyataan maaf dengan alasan penyebabnya adalah karena sistem  di operator seluler tersebut sedang sibuk dan disuruh mencoba lagi, namun pulsa tetap dikurangi, dan apabila terus dicoba tetap juga gagal, sedangkan pulsa terus dikurangi. Permasalahan  tersebut dianggap sebagai manipulasi karena terjadi misleading atau perbedaan antara realisasi dengan janji, yang dapat mengakibatkan kerugian kepada pelanggan dan keuntungan  yang diperoleh oleh operator tersebut  yag didapatkan dari praktek manipulasi iklan tersebut. Walaupun hanya mengurangi Rp 3.000 per sms, namun jika kejadian tersebut dialami satu juta pelanggan saja dari sekian puluh juta pelanggan telkomsel, maka terdapat dana Rp 3 miliar.

Selain itu masih banyak pelanggaran-pelanggaran etika bisnis yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, masih banyak perusahaan yang melakukan berbagai pelanggaran moral, praktek kecurangan, korupsi, kolusi maupun nepotisme.

Konsep etika bisnis tidak akan terlaksana apabila setiap orang atau perusahaan tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Apabila semua etika bisnis telah disepakati, sementara pengusaha atau pihak lain mencoba untuk melakukan kecurangan demi kepentingan perusahaannya sendiri, maka semua konsep etika bisnis akan gugur satu demi satu. Oleh karena itu etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak terlepas dari elemen-elemen lain, baik perusahaan lain, masyarakat maupun negara

Agar etika bisnis dapat diterapkan pada seluruh elemen yang ada baik masyarakat, perusahaan maupun negara,  maka ketentuan-ketentuan hukum yang memenuhi persyaratan  harus ada dan sudah ada dipatuhi dan dilaksanakan. Peraturan perundangan maupun kebijakan yang berpihak hanya kepada sekelompok orang tidak dibenarkan termasuk keputusan yang tidak jelas dasar hukumnya. Penerapan sangsi yang jelas dan tegas kepada semua elemen yang melanggar akan memberikan jaminan kelanggengan dan keasrian kepada bisnis sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan standar hidup manusia secara ekonimis.




V.           KESIMPULAN
Penerapan etika bisnis di Indonesia masih lemah. Sikap kekeluargaan yang masih begitu kuat dalam budaya-budaya kesukuan tertentu di Indonesia dapat menjadi penghambat penerapan etika bisnis.

Selain itu  kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak tepat sebagai regulator dalam sistem perekonomian nasional juga sangat mempengaruhi penerapan etika bisnis di indonesia.
Untuk  tingkatan perusahaan di indonesia, juga masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran etika bisnis

Dalam kaitannya dengan kewajiban beretika dalam dunia bisnis, terdapat sedikitnya tiga pihak yang seharusnya beretika, yaitu pebisnis, pemerintah dan konsumen atau pelanggan serta masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung ikut terjaring dalam sebuah proses bisnis.

Dengan adanya aturan yang dibuat dengan sangsi yang tegas dan jelas jika aturan tersebut tidak dilaksanakan, maka akan tercipta kelanggengan dan keasrian kepada bisnis sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan standar hidup manusia secara ekonimis.

DAFTAR PUSTAKA
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). 2010. PEDOMAN ETIKA BISNIS PERUSAHAAN. Penerbit P.T. Elex Media  Komputindo. Jakarta.
Kartasasmita, Ginanjar. 1997. Etika Dunia Usaha Atau Etika Bisnis Dalam Pembangunan.  http://www.ginandjar.com/public/20Peresmian LSPEU.pdf. Diakses Januari 2010
Yosephus, Sinuor L. 2010. Etika Bisnis. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.
READ MORE - Penyimpangan Etika Bisnis

Plagiarisme

1.   Pengertian
Plagiarisme berasal dari kata Plagiarism yang artinya praktek mengklaim, atau menyatakan secara langsung, penulisan asli, atau menggabungkan bahan-bahan dari tulisan atau karya kreatif orang lain secara sebagian atau seluruhnya, ke dalam tulisan atau karya sendiri, tanpa pengakuan yang mencukupi (practice of claiming, or implying, original authorship, or incorporating material from someone else's written or creative work in whole or in part, into ones own, without adequate acknowledgment) (Wikipedia,2009).

Ensiklopedia bebas atau kamus online Wikipedia Bahasa Indonesia mengartikan plagiarisme sebagai “penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. (Wikipedia, 2009)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat beberapa arti sbb. (Nias. 2008) :
a.    Plagiarisme berarti penjiplakan yang melanggar hak cipta, yaitu hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang.
b.    Plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan / pendapat sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri.
c.    Plagiator atau penjiplak yaitu orang yang melakukan plagiat atau orang yang mengambil karangan (pendapat dsb) orang lain dan disiarkan sebagai karangan sendiri.

2.   Penggolongan dan Pembatasan Plagiarisme
a.    Penggolongan
Dalam ensiklopedia bebas (Wikipedia), yang digolongkan sebagai plagiarisme adalah sbb. :
·         Menggunakan tulisan orang lain secara mentah, tanpa memberikan tanda jelas (misalnya dengan menggunakan tanda kutip atau blok alinea yang berbeda) bahwa teks tersebut diambil persis dari tulisan lain
·         Mengambil gagasan orang lain tanpa memberikan anotasi yang cukup tentang sumbernya
Sedangkan menurut Felicia Utorodewo dkk. dalam bukunya Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah yang terdapat dalam Wikipedia, hal-hal berikut digolongkan sebagai tindakan plagiarisme :
·     Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri,
·     Mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri
·     Mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri
·     Mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri,
·     Menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya
·     Meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya, dan
·     Meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.

Hal-hal yang tidak tergolong plagiarisme:
·     Menggunakan informasi yang berupa fakta umum.
·     Menuliskan kembali (dengan mengubah kalimat atau parafrase) opini orang lain dengan memberikan sumber jelas.
·     Mengutip secukupnya tulisan orang lain dengan memberikan tanda batas jelas bagian kutipan dan menuliskan sumbernya.

b. Pembatasan
Dalam mengutip pastikan harus dicantumkan sumber kutipannya. Jika itu satu kalimat, tulis satu kalimat. Bila itu satu paragraf, ya tulis juga satu paragraf dan serta sumbernya. Biasanya sih kutipan itu kita cantumkan untuk memperkuat argumentasi kita dalam sebuah tulisan. Bahwa pendapat yang kita sampaikan itu memang pernah juga disampaikan oleh penulis lain atau sama dengan penulis lain. Sehingga nilai argumentasi kita bisa dipertanggungjawabkan. Jika pun misalnya pendapat kita adalah sedikit berbeda dengan pendapat yang kita kutip, maka kutipan tersebut kita jadikan sebagai pijakan dan merupakan inspirasi dari pendapat yang kita kemukakan setelah melalui modifikasi tentunya.
 
Maka, plagiator adalah orang yang mencontek (copy-paste) karya orang lain, mungkin dia mengutip satu pendapat dari orang lain sampai satu kalimat persis bahkan satu paragraf dan satu artikel sekalipun dan menuliskannya serta mempublikasikannya kepada orang lain bahwa karya tersebut adalah hasil karyanya. Tentu saja ini perbuatan tidak menyenangkan dan bisa merugikan orang lain (dan juga merugikan dirinya jika suatu saat ternyata ada orang yang mengetahui perbuatannya).
 
Mengolah artikel terjemahan, bisa disebut plagiat jika karya terjemahan tersebut kita akui sebagai penulisnya, padahal faktanya kita adalah penerjemahnya. Mengubah suatu artikel terjemahan sampai 50% dari total artikel tersebut, tidak termasuk aktivitas plagiat jika kita bermaksud memberikan penilaian atau interpretasi atas artikel tersebut dan tentu mencantumkan sumber asli terjemahan dari artikelnya. Misalnya, sebuah tulisan berbahasa Inggris dari sebuah kantor berita asing, kita terjemahkan dan kita permak lagi menurut pendapat kita, tidak disebut sebagai plagiat jika kita mencantumkan di bagian belakang tulisan dengan kalimat seperti ini: "Diolah dari AFP dsb" .
 

3.   Plagiarisme Pada Beberapa Bidang Kegiatan

Dengan merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebenarnya hampir setiap hari kita menyaksikan plagiarisme, plagiat dan plagiator, baik yang sengaja maupun yang tidak. Para ‘pakar’ dalam berbagai bidang tidak jarang melontarkan pendapat yang sebenarnya merupakan hasil penelitian atau pendapat orang lain sebelumnya untuk menganalisis atau menjelaskan suatu topik aktual di bidang tertentu. Pada umumnya mereka ‘malas’ menjelaskan bahwa analisis atau pendapat itu berasal dari orang lain dan mereka hanya sekedar mengulangi atau meminjam pendapat tersebut. Demikian juga seorang pejabat yang membuka suatu pertemuan ilmiah, bisa mengambil secara tak sengaja pendapat orang lain. Hal itu dapat terjadi, misalnya, apabila konsep sambutan tersebut dibuat oleh orang lain (staf yang dia tunjuk untuk itu), yang barangkali kurang faham akan tatakrama pengutipan pendapat orang lain. Dalam keseharian para peneliti di lingkungannya, plagiarisme bisa terjadi di antara sesama mereka, misalnya melalui diskusi yang bisa melahirkan gagasan-gagasan asli dari seseorang tetapi gagasan-gagasan itu kemudian menjadi ‘milik bersama’ atau milik seseorang yang sebenarnya tidak berhak.
Berikut dibahas bentuk-bentuk plagiarisme yang terjadi pada beberapa bidang  kegiatan :

a.   Plagiarisme Pada Literatur

Plagiarisme dalam literatur terjadi ketika seseorang mengaku atau memberi kesan bahwa ia adalah penulis asli suatu naskah yang ditulis orang lain, atau mengambil mentah-mentah dari tulisan atau karya orang lain atau karya sendiri (swaplagiarisme) secara keseluruhan atau sebagian, tanpa memberi sumber (Wikipedia. 2008).

b.   Plagiarisme pada Bidang Akademis

Selain masalah plagiarisme biasa, swaplagiarisme juga sering terjadi di dunia akademis. Swaplagiarisme adalah penggunaan kembali sebagian atau seluruh karya penulis itu sendiri tanpa memberikan sumber aslinya. Menemukan swaplagiarisme sering kali sulit karena masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan fair use. Beberapa organisasi profesional seperti Association for Computing Machinery memiliki kebijakan untuk menangani hal ini.

Contoh :
·         James A. Mackay, seorang ahli sejarah Skotlandia, dipaksa menarik kembali semua buku biografi Alexander Graham Bell yang ditulisnya pada 1998 karena ia menyalin dari sebuah buku dari tahun 1973. Ia juga dituduh memplagiat biografi Mary Queen of Scots, Andrew Carnegie, dan Sir William Wallace. Pada 1999 ia harus menarik biografi John Paul Jones tulisannya dengan alasan yang sama.
·         Ahli sejarah Stephen Ambrose dikritik karena mengambil banyak kalimat dari karya penulis-penulis lain. Ia pertama dituduh pada 2002 oleh dua penulis karena menyalin sebagian tulisan mengenai pilot-pilot pesawat pembom dalam Perang Dunia II dari buku karya Thomas Childers The Wings of Morning dalam bukunya The Wild Blue. Setelah ia mengakui plagiarisme ini, New York Times menemukan kasus-kasus plagiarisme lain.
c. Plagiarisme dalam blog/web/internet
Banyak orang yang membuat atau mempunyai blog, tapi tidak mempunyai kemampuan menulis, sedangkan blog harus di-up date, akhirnya mereka meng-Copy Paste tulisan orang. Hal tersebut dibolehkan asal sumber atau linknya disebutkan sehingga pembaca tahu bahwa tulisan itu bukan karangan kita. Jika tidak menyebutkan sumbernya, maka itulah yang disebut plagiarisme.
Kita bisa menggunakan jasa situs penyedia jasa proteksi plagiarism, Copyscape.com, untuk setidaknya mengingatkan pembaca blog kita agar tidak melakukan copy paste sembarangan. Menurut Copyscape.com, plagiarism merupakan masalah serius dan meluas di dunia maya.  “Kapan saja seseorang dapat menyalin isi situs Anda untuk dimuat di situsnya sendiri. Setelah melakukan perubahan alakadarnya, mereka akan mengklaim tulisan Anda sebagai tulisan mereka,”.
“Plagiarism is a serious and growing problem on the Web. At any moment, anyone in the world can copy your online content and instantly paste it onto their own site. After making minor changes, they will claim your content as their own.”
Bahkan komunitas blogger pun sudah peduli soal kode etik blogger, seperti ditulis oleh Bung Hery Azwan, dengan judul “10 Kode Etik Blogger Indonesia”, . Salah satunya, “Menyebutkan sumber tulisan, jika mengutip tulisan dari blog lain.”  (Romeltea. 2008).

d. Plagiarisme dalam Jurnalistik
Dalam konteks jurnalistik, plagiarisme adalah mengutip berita media atau wartawan lain tanpa menyebutkan sumbernya sehingga seolah-olah berita tersebut buatan sendiri.  Ini melanggar kode etik jurnalistik yang mengharuskan penyebutan sumber ketika mengutip berita apalagi “copy paste”.
 “Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat” (Kode Etik Wartawan Indoensia).

e.   Plagiarisme dalam Penelitian, jurnal, karya tulis dan karya ilmiah

Dalan Nias. 2008 dibahas bahwa dalam tesis-tesis S2 dan S3, pada bagian depan, berdekatan / berdampingan dengan halaman “Acknowledgement” dan “Abstract” biasanya ada halaman deklarasi (declaration page) yang berisikan pernyataan keaslian / orisinalitas dari tesis tersebut, serta pernyataan bahwa tesis tersebut belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Bunyi deklarasi tersebut adalah sebagai berikut:
This thesis contains no material which has been accepted for the award of any other degree in any university and, to the best of my knowledge and belief, contains no material previously published or written by another person, except where due reference is made in the text.” 
Deklarasi dari penulis tesis merupakan jaminan bahwa yang bersangkutan dalam menyusun tesisnya telah berusaha maksimal melacak berbagai tesis-tesis sebelumnya, termasuk literatur-literatur ilmiah lainnya untuk memastikan bahwa tesisnya adalah orisinal. Pengutipan atau perujukan terhadap karya-karya tulis ilmiah dimungkin sejauh hal itu relevan.
Jurnal-jurnal ilmiah juga mempersyaratkan setiap karya tulis yang akan dipublikasikan harus asli dan tidak pernah dipublikasikan sebelumnya. Persyaratan tentang hal ini biasanya diberikan pada halaman “instruksi untuk penulis” (Instructions to Authors) dari jurnal tersebut. Untuk memperkecil kemungkinan (jadi tidak menghilangkan samasekali kemunginan) terjadinya praktek plagiat dalam karya tulis ilmiah, selain melalui penyunting, naskah yang akan dipublikasikan masih perlu melalui penyaringan para penilai. Apabila karya plagiat masih lolos melalui saringan ini, masih ada saringan terakhir, yaitu para pembaca dari karya tulis itu sendiri, walaupun hal itu terjadi setelah publikasi dari karya tulis tersebut.
Plagiarisme atau plagiat dapat terjadi karena tak disengaja, misalnya karena kurang memahami tatakrama pengutipan atau perujukan gagasan atau pendapat orang lain, atau bisa juga karena keterbatasan pelacakan sumber-sumber informasi dari literatur-literatur ilmiah. Oleh sebab itu, setiap penulis harus berusaha maksimal untuk memastikan bahwa karya tulisnya bukan buah karya orang lain.
Dalam karya tulis penelitian banyak informasi dan gagasan-gagasan dari kerja peneliti lain (yang terdahulu) dimasukkan ke dalamnya. Tujuan pemasukan informasi dan gagasan-gagasan dari karya tulis peneliti lain, sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah untuk melakukan tinjauan atas hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya, sekaligus untuk menyoroti kelemahan-kelemahan yang ditemukan. Atau sebaliknya, pemasukan tersebut bermaksud untuk memperkukuh pernyataan atau gagasan itu dengan membeberkan sejumlah bukti-bukti ilmiah yang baru dari hasil penelitian yang dilakukan. Semua gagasan dan pendapat yang dirujuk itu harus ditampilkan dengan jelas dalam tulisan sehingga mereka terlihat sebagai karya orang lain dan bukan karya sendiri.
Dalam karya tulis ilmiah, informasi atau karya orang lain yang dirujuk tidak hanya muncul dalam bentuk kalimat biasa tetapi juga dalam bentuk rumus matematik, angka-angka yang dituangkan dalam tabel-tabel, gambar atau foto-foto.
Hal lain yang harus dicamkan ialah agar informasi atau gagasan-gagasan orang lain yang dimasukkan dalam karya tulis yang akan dibuat harus tepat seperti yang dimaksudkan pemilik gagasan asli. Dengan kata lain, penulis jangan salah mengartikan pendapat orang lain yang akan dimasukkan dalam karya tulisnya. Untuk menghindari hal itu, sebelum merujuk gagasan atau pendapat tersebut, si peneliti harus terlebih dahulu memahami betul arti dari pernyataan atau tulisan penulis aslinya, kalau perlu dengan membacanya berulang-ulang atau dengan mendiskusikannya dengan rekan lain yang mengerti masalah itu.
Semua ide atau pendapat dari peneliti lain yang dimasukkan dalam karya tulis seharusnya disebutkan sumbernya dan disebutkan kontributornya. Apabila hal itu tidak dilakukan maka penulis karya tulis tersebut dapat dicap melakukan tindakan plagiat.
Selain gagasan dan pendapat dalam bentuk tulisan, ada juga gagasan dan pendapat dalam bentuk lisan. Misalnya, seorang penulis berdiskusi dengan ahli di bidang tertentu untuk mendapatkan informasi atau gagasan yang bermanfaat dari ahli tersebut. Apabila informasi atau gagasan itu dimunculkan dalam karya tulisnya, penulis tersebut harus menghargai dan mengakuinya dengan mencantumkannya sebagai komunikasi pribadi (private communication) pada daftar pustaka / referensi dari karya tulis tersebut.
Plagiarisme tidak begitu gampang dihindarkan, terlebih dalam dunia penelitian yang semakin kompetitif saat ini. Dalam diskusi antar kolega yang melibatkan sejumlah peneliti, ide-ide segar bisa saja muncul yang mungkin tidak kita sadari nilai strategisnya saat itu. Barangkali beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian bisa saja salah seorang dari teman diskusi tadi diam-diam mengembangkan ide yang dilontarkan itu.



f.     Plagiarisme dalam Budaya
Masyarakat Indonesia bukannya asing dengan isu plagiarisme. Di zaman Ngabehi-ngabehi Kraton masih berbisnis batik, masing-masing pembatiknya dengan sadar membuat motif-motif batik yang berbeda dan unik, walau tetap mengikuti motif pada umumnya (katakanlah parangrusak, dsb). Para pembatik di era itu tahu kalau ia membuat apa yang dibuat oleh pembatik lainnya, masyarakat (dalam hal ini terutama konsumennya) akan tahu siapa yang meniru dan mereka harus menanggung malu.
Tentu semua ini berakhir ketika teknologi batik printing lahir. Mereka toh tak bisa mencegah pabrik-pabrik itu mencetak motif mereka. Selain karena Ditjen HKI tampaknya belum ada pada masa itu, juga karena mereka harus bertahan hidup dengan tidak menghabiskan waktu untuk menyalah-nyalahkan pihak-pihak yang mencetak motif mereka.
Budaya Jawa yang nrimo, membuat akhirnya batik tetap diproduksi dengan semua cara yang mungkin dilakukan sekarang. Mulai dari batik tulis (yang sekarang mahalnya minta ampun) sampai batik cetak/sablon. Paham para pembatik itu kemudian “harus” bergeser menjadi “imitation is the sincerest form of flattery,” yang merujuk pada Charles Caleb Colton (1780 – 1832). Plagiarisme seharusnya adalah bagian dari etika kita sebagai bangsa yang berbudaya.
Maka, menurut saya, ketimbang hanya berharap para institusi pendidikan itu membuat kebijakan yang baku dan konsisten terhadap isu plagiarisme yang mengacu pada konsep-konsep barat dan terikat pada aturan hukum yang merepotkan, lebih baik melestarikan apa yang sudah dilakukan nenek moyang kita: menghidupkan kembali budaya malu.

g. Plagiarisme dalam Bidang Sastra
Dua contoh plagiarisme dalam karya sastra Indonesia adalah mengenai Chairil Anwar  dengan karya sastranya dan Hamka dengan bukunya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Walaupun masih menjadipolemik namun mennggambarkan bahwa dalam karya sastra pun terdapat plagiarisme.
Pada kasus Chairil Anwar dibahas bahwa terdapat kategorisasi 94 tulisan Chairil yang kariernya hanya berlangsung 6,5 tahun itu sebagai berikut: saduran (4 sajak), terjemahan (10 sajak, 4 prosa), asli (70 sajak, 6 prosa). Dalam hal sajak saduran dan terjemahan yang termuat di media cetak dengan nama Chairil Anwar sebagai penulisnya, tanpa nama penulis sajak yang menjadi sumbernya, seperti Willem Elsschot, Archibald MacLeish, E Du Perron, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Conrad Aiken, WH Auden, itulah yang disebut sebagai sajak plagiat.
Pada kasus lainnya yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal sebagai Hamka, seorang ulama yang sejak muda membangun tradisi menulis, sehingga setiap langkah dalam pemikirannya bisa diperiksa dan mempertanggungjawabkan dirinya sendiri. Hamka dituduh menjiplak karya Musthafa al-Manfaluthi berjudul Magdalaine (disebut juga Madjdulin) yang berbahasa Arab, dan telah diceritakan kembali dalam bentuk film di Mesir dengan judul Dumu-El-Hub (Airmata Cinta). Disebutkan bahwa Manfaluthi ternyata juga mencarternya dari karya berbahasa Perancis, Sous les Tilleuls (Di Bawah Lindungan Bunga Tilia) yang ditulis Alphonse Karr.  Jika dalam hal Manfaluthi sumber bahasa Perancis itu disebut dengan jelas; dalam hal Hamka, yang disebutkan sangat menyukai karya-karya Manfaluthi, memang tidak. Setelah menyebutkan berbagai kemiripan pada berbagai paragraf, termasuk bagaimana Hamka telah berkiat mengubahnya, para penyerangnya memastikan status plagiator tersebut kepada Hamka.

4. Rujukan
Ciput. 2008. http://ciput.multiply.com/journal/item/341 diakses 2 november
Nias. 2008. http://niasonline.net/2008/07/15/plagiarisme/ diakses 2 november 2009
Wikipedia. 2009 http://en.wikipedia.org/wiki/Plagiarism.  Diakses 2 November 2009
READ MORE - Plagiarisme

Manajemen dan Penilaian Kinerja

I.      Pendahuluan
Proses menciptakan tenaga / SDM handal dalam mendukung terciptanya pertumbuhan bisnis, salah satunya dengan cara : menyeimbangkan kebutuhan kuantitas karyawan dengan laju pertumbuhan bisnis perusahaan, melakukan pengelolaan terhadap motivasi karyawan agar tetap kompetitif dan mengembangkan SDM untuk memiliki wawasan global, ketrampilan bisnis serta manajemen yang unggul dibandingkan dengan para pesaing.

Agar dapat dikatakan produk SDM unggul, maka pengelolaan Sumber Daya Manusia harus diperhatikan perusahaan karena merupakan tugas yang strategis dan sensitif. Strategis, karena yang dikelola merupakan jantung / pelaku organisasi yang menentukan hidup dan matinya serta berkembang dan tidaknya suatu organisasi. Sensitif, karena yang dikelola adalah manusia yang memiliki perasaan, berkeinginan, punya harga diri, kreatif dan inovatif. Pengelola Sumber Daya Manusia harus memahami secara mendasar akan tugas-tugas pengelolaan Sumber Daya Manusia serta mampu mengimplementasikannya secara professional, tepat dan efektif.

Perum Perhutani adalah sebuah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang pengelolaan hutan memiliki tidak kurang dari 32.000 orang karyawan yang tersebar di seluruh Indonesia dengan komposisi 30% berstatus pegawai dan 70% pekerja harian. Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) menggunakan CBHRM (Competency Based Human Recourse Management) dengan tujuan untuk mendapatkan orang-orang yang tepat untuk menjalankan roda organisasi. Untuk itu dibutuhkan staf maupun manajer yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang sesuai, lebih dikenal dengan istilah kompetensi. Penerapan manajemen SDM berbasis Kompetensi dimulai dengan strategi perekrutan, seleksi dan penggunaan tehnik (interview) yang tepat guna dan terstruktur dalam menentukan level kompetensinya. Aplikasi yang sama juga berlaku bagi seleksi dan penilaian kompetensi, guna pengelolaan SDM yang ada saat ini, maupun pengembangannya kedepan (pengisian gap kompetensi). Selain menurunnya kinerja, kesalahan dalam hal tersebut diatas dapat berakibat dalam besarnya biaya pengembangan, pemberdayaan dan pelatihan staf pada umumnya.

II.    Transformasi Manajemen Kinerja
Transformasi adalah suatu keharusan bagi bisnis agar terus mengalami pertumbuhan. Transformasi yang sukses mensyaratkan lima hal.
1.     Adanya visi dan misi yang jelas
2.     Strategi yang tepat sesuai dengan pasar
3.     Adanya dukungan sumberdaya yang memadai, dalam hal ini kompetensi yang sesuai dengan strategi
4.     Adanya pengukuran atau indikator keberhasilan menuju transformasi
5.     Adanya sistem imbal jasa yang dapat memberi insentif bagi perilaku yang sesuai dengan arah transformasi.




Langkah-langkah transformasi  manajemen kinerja perusahaan adalah sebagai berikut :
1.    Mission statement yaitu memastikan perusahaan memiliki pernyataan visi dan misi yang jelas, fokus, membangkitkan semangat dan menginspirasi perubahan perilaku.
2.    Corporate scorecard yaitu memastikan artikulasi visi ke dalam bahasa operasional untuk memastikan setiap tujuan strategis perusahaan yag memiliki indikator keberhasilan visi dan targetnya.
3.    KPI tree yaitu memastikan seluruh unit organisasi dan pemegang jabatan memiliki Key Performance Indicator unik sesuai tanggung jawab masing-masing untuk mencapai corporate scorecard  melalui proses penyelarasan indikator kinerja top-down atau bottom up di setiap unit organisasi dan level.
4.    KPI description yaitu memastikan kejelasan setiap indikator kinerja dan penetapan target yang menantang (stretching Target) untuk menjamin terjadinya peningkatan kinerja
5.    Improvement Action Plan yaitu memastikan seluruh pemegang jabatan memiliki rencana kerja perbaikan (improvement Plan)  untuk mencapai target indikator kinerjanya dan mendukung rencana kerja unit organisasi di level yang lebih tinggi.
6.    KPI & competence Based Performance Appraisal yaitu mengimplementasikan sistem penilaian kinerja berbasis kompetensi dan indikator kinerja untuk mengevaluasi sejauh mana karyawan telah berkontribusi mencapai target KPI nya dan menghubungkannya dengan sistem kompetensi karyawan.
7.    Improvement Progress Review cycle yaitu memastikan berjalannya control and monitoring system dengan menggulirkan aktivitas progress review cycle menjadi praktek company-wide review cycle pada setiap level menuju praktek operasional yang lebih baik.
Berikut akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan manajemen kinerja

III.   CBHRM (Competency Based Human Recourse Management)
Tujuan utama perusahaan adalah mendapatkan orang-orang yang tepat untuk menjalankan roda organisasi. Untuk itu dibutuhkan staf maupun manajer yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang sesuai, lebih dikenal dengan istilah kompetensi. Penerapan manajemen SDM berbasis Kompetensi dimulai dengan strategi perekrutan, seleksi dan penggunaan tehnik (interview) yang tepat guna dan terstruktur dalam menentukan level kompetensinya. Aplikasi yang sama juga berlaku bagi seleksi dan penilaian kompetensi, guna pengelolaan SDM yang ada saat ini, maupun pengembangannya kedepan (pengisian gap kompetensi). Selain menurunnya kinerja, kesalahan dalam hal tersebut diatas dapat berakibat dalam besarnya biaya pengembangan, pemberdayaan dan pelatihan staf pada umumnya.
Pengembangan pribadi yang bermutu unggul secara sistematis boleh jadi merupakan salah satu strategi yang mesti diusung ketika suatu perusahaan bemimpi menjadi yang terbaik. Dalam kaitannya dengan hal ini, beberapa tahun terakhir ini merebak satu pendekatan baru dalam menata kinerja manusia, yang acap disebut sebagai competency-based human resource management (CBHRM), atau manajemen pengelolaan SDM berbasis kompetensi yang merupakan salah satu bagian dari competence Based Performance Appraisal yaitu mengimplementasikan sistem penilaian kinerja berbasis kompetensi dan indikator kinerja untuk mengevaluasi sejauh mana karyawan telah berkontribusi mencapai target KPI nya dan menghubungkannya dengan sistem kompetensi karyawan. Dalam pendekatan ini, kosa kata kompetensi menjadi elemen kunci.
Secara general, kompetensi sendiri dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Dalam sejumlah literatur, kompetensi sering dibedakan menjadi dua tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain. Contoh soft competency adalah: leadership, communication, interpersonal relation, dll.
Tipe kompetensi yang kedua sering disebut hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah : electrical engineering, marketing research, financial analysis, manpower planning, dll.

Tahap pertama yang mesti dilakukan ketika suatu perusahaan hendak membangun competency-based human resource management adalah menyusun direktori kompetensi serta profil kompetensi per posisi. Dalam proses ini, dirancanglah daftar jenis kompetensi – baik berupa soft dan hard competency – yang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut; lengkap dengan definisi kompetensi yang rinci, serta juga indikator perilaku dan levelisasi (penjenjangan level) untuk setiap jenis kompetensi. Dalam tahap ini pula disusun semacam kebutuhan kompetensi per posisi, atau semacam daftar kompetensi apa yang dipersyaratkan untuk satu posisi tertentu, berikut dengan level minimumnya.

Tahap berikutnya merupakan tahap yang paling kritikal, yakni tahap asesmen kompetensi untuk setiap individu karyawan dalam perusahaan itu. Tahap ini wajib dilakukan sebab setelah kita memiliki direktori kompetensi beserta dengan kebutuhan kompetensi per posisi, maka kita perlu mengetahui dimana level kompetensi para karyawan kita – dan dari sini juga kita bisa memahami gap antara level kompetensi yang dipersyaratkan dengan level yang dimiliki oleh karyawan saat ini.

Terdapat beragam metode untuk mengevaluasi level kompetensi, dari mulai yang bersifat sederhana dan praktis hingga yang kompleks. Metode yang praktis adalah meminta atasan, rekan kerja dan mungkin juga bawahan untuk menilai level kompetensi karyawan tertentu, dengan menggunakan semacam kuesioner kompetensi. Kuesioner ini didesain dengan mengacu pada direktori kompetensi serta indikator perilaku per kompetensi yang telah disusun pada fase sebelumnya.

Metode lain yang lebih kompleks adalah dengan menggunakan teknik yang disebut sebagai competency assessment center. Dalam metode ini, karyawan diminta untuk melakukan bermacam-macam tugas seperti melakukan simulasi peran, memecahkan suatu kasus atau juga menyusun skala prioritas pekerjaan. Hasil kegiatan ini kemudian dievaluasi oleh para evaluator yang biasanya terdiri lebih dari satu orang. Meskipun obyektivitas dan validitasnya relatif tinggi, metode ini membutuhkan waktu yang cukup panjang (biasanya dua hari) dan biaya serta energi yang relatif besar.

Metode uji kompetensi lain yang kini juga banyak dilakukan adalah dengan menerapkan sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh suatu badan yang independen dan kredibel. Di Amerika Serikat misalnya, telah terdapat sertifikasi kompetensi untuk beragam profesi/posisi seperti untuk posisi marketing, HR, keuangan, engineering, dll. Dengan sertifikasi ini, maka seorang karyawan benar-benar telah teruji level kompetensinya.

Tahap berikut dari penerapan CBHRM adalah memanfaatkan hasil level asesmen kompetensi yang telah dilakukan untuk diaplikasikan pada setiap fungsi manajemen SDM, mulai dari fungsi rekrutmen, manajemen karir, pelatihan, hingga sistem remunerasi.

Memang, perjalanan penerapan metode CBHRM membutuhkan proses yang panjang nan berliku. Namun, manfaat yang akan diperoleh dari penerapan metode ini niscaya akan membuat sebuah perusahaan bisa makin melesat unggul dibanding para pesaingnya.
READ MORE - Manajemen dan Penilaian Kinerja