Rabu, 26 September 2012

Pendapatan

              Pendapatan (revenue) dapat didefinisikan secara umum sebagai hasil dari suatu perusahaan. Hal itu biasanya diukur dalam satuan harga pertukaran yang berlaku. Pendapatan diakui setelah kejadian penting atau setelah proses penjualan pada dasarnya telah diselesaikan. Dalam praktek ini biasanya pendapatan diakui pada saat penjualan  (Hendriksen dan Van Breda, 2000).

Harahap (2001) mengemukakan bahwa pendapatan adalah hasil penjualan barang dan jasa yang dibebankan kepada langganan/mereka yang menerima. Secara umum pendapatan petani pada usaha tani tanaman pangan tergolong rendah. Pendapatan dalam usaha tani merupakan selisih antara penerimaan total dan biaya-biaya.
Pendapatan menunjukkan jumlah seluruh uang yang diterima oleh seorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu, pendapatan terdiri dari upah, atau penerimaan tenaga kerja, pendapatan dari kekayaan seperti (sewa, bunga, dan deviden) serta pembayaran transfer atau penerimaan dari pemerintah seperti tunjangan sosial atau asuransi pengangguran.
Menurut Soekartawi (2006), keuntungan atau profit adalah pendapatan yang diterima oleh seseorang dari penjualan produk barang maupun produk jasa yang dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam membiayai produk barang maupun produk jasa tersebut. Pendapatan tunai usaha tani (farm net cash flow) adalah selisih antara penerimaan tunai usaha tani dan pengeluaran tunai usaha tani. Pendapatan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya.  Rumus pendapatan usaha tani :

Pd = TR – TC
Keterangan :
Pd                         : Pendapatan usaha tani
TR                         : Total Penerimaan
TC                         : Total Biaya
Pendapatan dapat dibagi menjadi 3 pendapatan yaitu sebagai berikut.
1.    Pendapatan kotor (Gross income) adalah pendapatan usaha tani yang belum dikurangi biaya-biaya.
2.        Pendapatan bersih (Net income) adalah pendapatan setelah dikurangi biaya.
3.   Pendapatan pengelola (Management income) adalah pendapatan merupakan hasil pengurangan dari total output dengan total input.
Pendapatan dihitung dengan cara menghitung total penerimaan usaha dikurangi dengan total biaya ternak selama satu tahun Mankiw (2003); Suharyanto, et al (2004); Mandaka dan Hutagaol (2005); (Gusasi dan Saade, 2006), dan Hidayat (2007) menyatakan bahwa pendapatan usaha merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya selama kurun waktu tertentu. Analisis usaha sapi perah diperlukan untuk mengetahui pendapatan yang diterima dari seluruh korbanan yang dikeluarkan peternak (Hidayat, 2007).
Peningkatan pendapatan usaha dapat dilakukan dengan cara meningkatkan skala usaha seperti peningkatan jumlah ternak, peningkatan luas lahan, penggunaan pakan dari lahan sendiri secara intensif dan penggunaan pupuk kandang (Hidayat, 2007). Hal tersebut sesuai dengan Mankiw (2003) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya pendapatan yang diperoleh ditentukan oleh: modal fisik, jika pekerja bekerja dengan peralatan atau struktur yang lebih modern dan lengkap, maka output yang diproduksi akan lebih baik; modal manusia, jika pekerja lebih terdidik, produksinya akan lebih tinggi; dan pengetahuan teknologis, jika pekerja memiliki akses ke teknologi yang lebih canggih, maka produksi yang dihasilkan akan lebih tinggi. Produksi yang tinggi memiliki pengaruh terhadap tinggi rendahnya pendapatan.
Pendapatan usaha tani adalah besarnya manfaat atau hasil yang diterima oleh petani yang dihitung berdasarkan dari nilai produksi dikurangi semua jenis pengeluaran yang digunakan untuk produksi. Untuk itu pendapatan usaha tani sangat dipengaruhi oleh besarnya biaya sarana produksi, biaya pemeliharaan, biaya pasca panen, pengolahan dan distribusi serta nilai produksi (Soekartawi, 2006). Menurut Mandaka dan Hutagaol (2005) bahwa pendapatan  merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya selama kurun waktu tertentu.  
READ MORE - Pendapatan

Kelembagaan

          Menurut beberapa ahli, konsep kelembagaan adalah sebagai berikut (dalam Departemen Kehutanan, 1992) :

·           Aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan dimana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan.
·    Aturan dan rambu-rambu sebagai panutan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain.
·         Aturan main di dalam kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama. Departemen Kehutanan (1992) membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya.
·    Suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat istiadat.
·       Merangkum dari berbagai pengertian tentang kelembagaan, Djogo, et al (2003) mengemukakan bahwa kelembagaan adalah “suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antar organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.
Secara sederhana, suatu hubungan sosial dapat disebut sebagai sebuah kelembagaan apabila memiliki empat komponen, yaitu :  (Syahyuti, 2003)
a.  Komponen  person, yaitu orang-orang yang terlibat di dalam suatu kelembagaan dapat diidentifikasi dengan jelas.
b.   Komponen kepentingan yaitu orang-orang tersebut sedang diikat oleh satu kepentingan atau tujuan, sehingga diantara mereka terpaksa harus saling berinteraksi.
c.   Komponen aturan dimana setiap kelembagaan mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang secara bersama, sehingga seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam lembaga tersebut.
d.   Komponen struktur dimana setiap orang memiliki posisi dan peran yang harus dijalankannya secara benar. Orang tidak bisa merubah-ubah posisinya dengan kemauan sendiri.

Peran Kelembagaan
Kelembagaan merupakan salah satu unsur yang memegang peranan penting dalam pembangunan di Indonesia. Banyak masalah-masalah pertanian dan kehutanan yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga. Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan  teknologi yang dipayungi oleh suatu kelembagaan merupakan faktor penggerak sebagai satu kesatuan sistem dalam pembangunan pertanian dan kehutanan (Yohanes, et al. 2004).
Kelembagaan dalam hal ini bukan hanya menyangkut kelembagaan usaha tani, tetapi juga peranan kelembagaan-kelembagaan penunjang dalam pengembangan pertanian yag dapat mendukung pembangunan dan usaha agribisnis. Lebih  jauh lagi pentingnya lembaga di pedesaan dalam pembangunan pertanian dan kehutanan diuraikan sbb. (Yohanes, et al. 2004)
a.         Banyak masalah-masalah  pertanian hanya dapat dipecahkan oleh  suatu lembaga.
b.   Suatu organisasi atau lembaga dapat memberi kontribusi pada usaha-usaha pertanian terkait dengan penyebaran dan pengembangan teknologi. Dalam jangka panjang, kemampuan masyarakat petani untuk bekerjasama, sama pentingnya dengan perolehan pengetahuan teknis.
c.    Pada suatu masyarakat desa yang akan bersaing dengan dunia luar, mereka perlu terorganisasi. Lembaga-lembaga tingkat desa dapat menyediakan pengalaman dalam keterampilan yang harus dipelajari agar dapat mengorganisasikan diri.
Peran Kelembagaan membuat orang atau anggota masyarakat saling mendukung dan bisa berproduksi atau menghasilkan sesuatu karena ada keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumberdaya alam yang didukung oleh peraturan dan penegakan hukum serta insentif untuk mentaati aturan atau menjalankan institusi.
READ MORE - Kelembagaan

Agroforestry sebagai Subsistem Agribisnis

          Agribisnis merupakan suatu kegiatan usaha ekonomi/bisnis yang berkaitan dengan sektor pertanian dalam arti luas (pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan) yang merupakan sektor usaha  berbasis sumberdaya (resource base) (Saragih, 2010). Agribisnis merupakan suatu kegiatan usaha yang berkaitan dengan sektor bisnis pertanian, mencakup perusahaan-perusahaan pemasok input agribisnis (upstream-side industries), penghasil (agricultural-producing industries), pengolah produk agribisnis (downstream-side industries) dan jasa pengangkutan, jasa keuangan (agri-supporting industries). Sementara itu, menurut Tjakrawerdaya, 1996 dalam Said (2004), agribisnis secara umum mengandung pengertian sebagai keseluruhan operasi yang terkait dengan aktivitas untuk menghasilkan dan mendistribusikan input produksi, aktivitas untuk produksi usaha tani, untuk pengolahan dan pemasaran.

Menurut Saragih (2010), agribisnis merupakan suatu cara lain untuk melihat pertanian sebagai suatu sistem bisnis yang terdiri dari empat subsistem yang terkait satu sama lain yaitu sebagai berikut.
a.         Subsistem agribisnis hulu yang mencakup semua kegiatan untuk memproduksi dan menyalurkan input-input pertanian dalam arti luas.
b.        Subsistem agribisnis usaha tani merupakan kegiatan yang dikenal sebagai kegiatan usaha tani, yaitu kegiatan di tingkat petani, pekebun, peternak dan nelayan termasuk pula kegiatan kehutanan yang mengelola input-input (lahan, tenaga kerja, modal, teknologi dan manajemen) untuk menghasilkan produk pertanian.
c.         Subsistem agribisnis hilir, yang sering disebut sebagai kegiatan agroindustri atau kegiatan industri yang menggunakan produk pertanian sebagai bahan baku.
d.        Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan jasa yang melayani pertanian seperti kebijakan pemerintah, perbankan, penyuluhan, pembiayaan dan lain-lain.
Usaha di bidang pertanian di Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Berdasarkan segi skala usaha, ada yang berskala besar (seperti perusahaan perkebunan, industri minyak sawit, dan lain-lain), ada yang berskala menengah (seperti beberapa agroindustri menengah dan perkebunan menengah), serta ada yang berskala kecil (seperti usaha tani-usaha tani dengan luas lahan di bawah 25 hektar dan berbagai industri skala rumah tangga). Namun, apabila dikaji dari jumlah usahanya, maka usaha berskala kecil adalah yang paling banyak. Diperkirakan jumlahnya mencapai 90% dari seluruh usaha agribisnis di Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan sektor agribisnis hendaknya terus dikembangkan dengan pendekatan sistem agribisnis yang berorientasi pada komersialisasi usaha atau industri pedesaan dan pertanian rakyat yang modern (Said, 2004).
Pengembangan agribisnis tidak akan efektif dan efisien bila hanya mengembangkan salah satu subsistem yang ada di dalamnya. Sebagai contoh, pengembangan usaha budidaya di suatu daerah sangat berhasil dalam meningkatkan produksi dan mutu produknya, tetapi tidak berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat secara nyata karena tidak disertai dengan pengembangan dan penyiapan sistem pemasarannya. Dengan demikian, produksi yang melimpah hanya akan menjadi busuk di lahan atau di tong sampah dan produsennya merasa sangat kecewa. Contoh tersebut menjadi salah satu fenomena pengembangan agribisnis yang tidak terpadu dan sering terjadi di Indonesia.
Di lain pihak, menurut Soehardjo (1997) dalam Said (2004),  persyaratan-persyaratan untuk memiliki wawasan agribisnis adalah sebagai berikut.
a.         Memandang agribisnis sebagai sebuah sistem yang terdiri atas beberapa subsistem. Sistem tersebut akan berfungsi baik apabila tidak ada gangguan pada salah satu subsistem (Gambar 2). Pengembangan agribisnis harus mengembangkan semua subsistem di dalamnya karena tidak ada satu subsistem yang lebih penting dari subsistem lainnya.
b.        Setiap subsistem dalam sistem agribisnis mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan. Tanda panah ke belakang ke kiri pada subsistem pengolahan (SS-III) menunjukkan bahwa SS-III akan berfungsi dengan baik apabila ditunjang oleh ketersediaan bahan baku yang dihasilkan oleh SS-II. Tanda panah ke depan (ke kanan) pada SS-III menunjukkan bahwa subsistem pengolahan (SS-III) akan berhasil dengan baik jika menemukan pasar untuk produksinya. 
c.       Agribisnis memerlukan lembaga penunjang, seperti lembaga pertanahan, pembiayaan/ keuangan, pendidikan, penelitian, dan perhubungan. Lembaga pendidikan dan pelatihan mempersiapkan para pelaku agribisnis yang profesional, sedangkan lembaga penelitian memberikan sumbangan berupa teknologi dan informasi. Lembaga-lembaga penunjang kebanyakan berada di luar sektor pertanian, sehingga sektor pertanian semakin erat terkait dengan sektor lainnya. Dengan demikian akan semakin besar sumbangan yang dapat diberikan sektor agribisnis terhadap ekonomi nasional. Di samping memberikan sumbangan terhadap produk domestik bruto (PDB), agribisnis juga berperan sebagai penyedia bahan kebutuhan hidup (pangan, perumahan, dan pakaian), penghasil devisa, pencipta lapangan kerja, dan sumber peningkatan pendapatan masyarakat.
d.       Agribisnis melibatkan pelaku dari berbagai pihak (BUMN), swasta, dan koperasi) dengan profesi sebagai penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir, eksportir, dan lain-lain. Kualitas sumber daya manusia di atas sangat menentukan berfungsinya subsistem-subsistem dalam sistem agribisnis dan dalam memelihara kelancaran arus komoditas dari produsen ke konsumen. Petani kecil adalah salah satu pelaku dalam agribisnis, sehingga merupakan kekeliruan besar apabila tidak memberikan perhatian dan tidak mengikutsertakan mereka, yang pada saat ini jumlahnya diperkirakan tidak kurang dari 18 juta rumah tangga.
Menurut Soedijanto, 1993 dalam Saragih (2001), agribisnis sebagai semua kegiatan di sektor pertanian dimulai dari penyediaan sarana produksi, proses produksi, penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran, sehingga produk tersebut sampai ke konsumen.
 
Cakupan sistem agribisnis secara lengkap menurut Saragih (2001) adalah : (1) subsistem pengadaan sapronak (input factors); (2) subsistem budidaya (production); (3) subsistem pengolahan hasil (processing); (4) subsistem pemasaran (marketing), dan (5) subsistem kelembagaan (supporting institution).
Menurut Saragih (2001) yang dikutip oleh Suryanto (2004) bahwa Pembangunan agribisnis ternak ruminansia dengan menggunakan pendekatan sistem agribisnis dapat dikelompokkan menjadi 4 sistem yaitu sebagai berikut.
1.       Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness), mencakup kegiatan ekonomi industri yang menghasilkan sarana produksi seperti pembibitan ternak, usaha industri pakan, industri obat-obatan, industri insiminasi buatan dan lain-lain beserta kegiatan perdagangannya.
2.        Subsistem agribisnis budidaya usaha tani ternak (on-farm agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang selama ini disebut budidaya usaha tani ternak yang menggunakan sarana produksi usaha tani untuk menghasilkan produksi ternak primer (farm-product).
3.       Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness) yaitu kegiatan industri agro yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan dan memperdagangkan hasil olahan ternak. Dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri pengolahan/ pengalengan daging, industri pengawetan kulit, industri penyamaan kulit, industri sepatu, industri pengolahan susu dan lain-lain beserta perdagangannya di dalam negeri maupun ekspor.
4.        Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa dalam agribisnis ternak seperti perbankan transportasi, penyuluhan, peskesnak, holding ground, kebijakan pemerintah (Ditjen Produksi Peternakan), Lembaga Pendidikan dan Penelitian dan lain-lain.
Kegiatan agribisnis ternak tersebut, di tingkat peternakan rakyat sebagian besar masih terpisah-pisah, belum terkait secara utuh dalam satu sistem. Agribisnis yang hanya pada kegiatan subsistem budidaya usaha tani ternak ruminansia yang dilakukan petani ternak, sulit diharapkan dapat meningkatkan pendapatan. Oleh karena nilai tambah yang terbesar berada pada subsistem agribisnis hulu dan subsistem agribisnis hilir (Saragih, 2000; Suryanto, 2004).
Secara ringkas dinyatakan bahwa sistem agribisnis menekankan pada keterkaitan dan integrasi vertikal antara beberapa subsistem bisnis dalam satu sistem komoditas (Saragih, 2010). Kegiatan agroforestry dapat digolongkan sebagai agribisnis karena untuk mengembangkan suatu sistem agroforestry ditempuh pendekatan usaha tani (farming system). Dengan model usaha tani ini, keputusan petani dalam memilih teknologi dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan alam dan sosial ekonomi (Departemen Kehutanan, 1992). Lingkungan alam terdiri dari keadaan tanah, topografi, kondisi-kondisi biologi (hama dan penyakit, fisiologi tanaman), curah hujan dan kelembaban.
Kondisi sosial ekonomi dapat bersifat eksternal dan internal antara lain berupa tujuan usaha tani dan sumberdaya, kendala-kendala mengenai lahan, tenaga kerja dan modal kerja serta pasar input dan output, kelembagaan, infrastruktur dan fasilitas yang kesemuanya dapat dipengaruhi oleh kebijakan nasional. Dalam pelaksanaannya,  kegiatan agroforestry melibatkan sumberdaya alam dengan komponen-komponennya (air, tanah, hutan dan sumberdaya manusia) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti faktor-faktor iklim, sosial ekonomi, politik, budaya dan biofisik. Pelaksanaan agroforestry direncanakan sejak awal sebagai suatu bagian integral dari sistem bisnis agroforestry di daerah yang bersangkutan. Sistem bisnis agroforestry meliputi subsistem produksi, pemberian input, proses pasca panen dan pemasaran (Departemen Kehutanan, 1992). Disamping itu, pengembangan sistem bisnis agroforestry akan berjalan lancar apabila ditopang oleh sistem sarana dan prasarana dan pengembangan kelembagaan yang sesuai.
Pengembangan agroforestry harus merupakan bagian terintegrasi dari pembangunan regional dengan tujuan mengurangi penggundulan hutan, konservasi flora dan fauna dan plasma nutfah, mengurangi erosi tanah dan menumbuhkan peningkatan produktivitas tanah yang stabil dan berkesinambungan. Bila sasaran-sasaran ini tercapai, maka diharapkan kesejahteraan rakyat di dalam dan di sekitar hutan akan meningkat.
READ MORE - Agroforestry sebagai Subsistem Agribisnis