A. Latar
Belakang
Hutan mempunyai fungsi dan manfaat yang
sangat banyak bagi kehidupan manusia. Hutan sebagai penyangga kehidupan
mempunyai fungsi konservasi, fungsi ekologi
dan fungsi produksi. Hutan lindung mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
Sedangkan hutan produksi mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan (Anonim.
1999).
Hutan dengan banyak fungsi berakibat
banyaknya keterlibatan dalam bidang kehutanan. Hutan dengan fungsi ekologis dan
hidrologis menyebabkan hutan hatus dilindungi kelestariannya, namun dalam
fungsinya secara ekonomis membuat hutan harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat. Keterlibatan kepentingan di hutan menjadi fenomena yang menyebabkan
tingginya kerusakan hutan dan menyebabkan banyaknya konflik antara pemerintah
sebagai penguasa hutan negara dengan masyarakat
dengan kepentingan tersendiri terhadap hutan.
Perum Perhutani diberi tugas oleh pemerintah untuk
mengelola hutan di Jawa sesuai dengan
Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum)
Kehutanan Negara. Pada pasal 3 ayat (1), Pemerintah melanjutkan penugasan
kepada Perusahaan untuk melakukan pengelolaan hutan di hutan negara yang berada
di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi
Banten, kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari
dan prinsip tata keloa hutan yang baik.
Lokasi hutan
negara di Jawa yang pengelolaannya ditugaskan kepada Perum Perhutani di Jawa
juga melibatkan banyak kepentingan di hutan tersebut. Hutan negara yang
berbatasan langsung dengan masyarakat, dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi
menyebabkan berkurangnya lahan garapan, sedangkan masyarakat tetap membutuhkan
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, sedikitnya lapangan
kerja maupun dinamika perubahan iklim politik membuat intensitas keterlibatan
kepentingan terhadap kawasan hutan semakin meningkat (Anonim. 2009). Selain itu
banyaknya kegiatan pembangunan lain di luar sektor kehutanan seperti
pembangunan bendungan, jembatan , tol, bandara, tambang dan lain-lain juga
menyebabkan banyaknya kepentingan terhadap hutan.
Akibat
banyaknya keterlibatan kepentingan menyebabkan tingginya tekanan terhadap
hutan. Salah satu tekanan dan menjadi permasalahan adalah adanya konflik
tenurial. Konflik tenurial merupakan
masalah yang sangat kompleks karena banyaknya keterlibatan kepentingan, bahkan
melibatkan kepentingan dari dalam
perusahaan sendiri. Konflik tenurial dibagi ke dalam beberapa strata. Strata
yang paling ringan permasalahannya adalah strata A yaitu melakukan aktivitas
atau kegiatan pemanfaatan lahan di kawasan hutan wilayah Perum Perhutani secara
legal tanpa bermaksud untuk menguasai dan atau memiliki lahan yang dikerjakan
atau bisa disebut dengan penggarapan liar.
Seringkali hal ini dibiarkan sehingga penggarapan liar di kawasan hutan
akhirnya menjadi masalah yang besar sampai menjadi pendudukan kawasan (okupasi)
dan sulit untuk ditangani. Apabila banyak penggarapan liar terjadi, maka
potensi sumber daya hutan akan semakin menurun dan akan mengganggu pengelolaan
hutan yang menjadi tugas Perum Perhutani.
B. Analisis Permasalahan
Penggarapan liar yang
terjadi di kawasan hutan terjadi karena bertambahnya jumlah populasi masyarakat yang
membutuhkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
kurangnya lahan garapan yang bisa diolah oleh masyarakat, sedikitnya lapangan kerja maupun dinamika
perubahan iklim politik membuat
intensitas keterlibatan kepentingan ke kawasan hutan semakin meningkat. Selain
itu Kurangnya ketegasan dan pengawasan dari para
petugas dapat menyebabkan masuk penggarapan
liar ke dalam kawasan hutan. Hal ini dapat memberikan
anggapan kepada para penggarap lahan hutan bahwa tindakan yang mereka lakukan masih dalam batas yang wajar dalam
artian memfungsikan kawasan untuk dimanfaatkan sehingga secara ekonomi dapat
meningkatkan kesejahteraan bagi para penggarap lahan.
Menurut
Santoso. 209 Kurangnya pengawasan terhadap
kawasan hutan dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya :
o Fasilitas sarana dan prasarana yang tersedia tidak memadai atau mendukung
untuk melakukan pelaksanaan kegiatan pengawasan yang lebih intensif.
o Jumlah personil pegawai Perhutani yang tidak seimbang dengan luas
lahan yang harus di awasi.
o Ketidaktegasan petugas Perum Perhutani dalam menjalankan aturan
Ketiga hal tersebut menyebabkan kawasan hutan yang digarap secara liar semakin luas dan kerusakan yang dialami semakin parah. Ketidak tegasan petugas dalam menjalankan aturan akan berpengaruh terhadap kredebilitas institusi
di mata masyarakat. Masyarakat semakin berani untuk menggarap
lahan di kawasan hutan karena dari kelompok-kelompok mereka yang telah lebih dahulu melakukan
pengelolaan kawasan Hutan Produksi Terbatas tidak mendapat sanksi atas pelanggaran yang dilakukan. Anggota lain juga termotivasi untuk
melakukan tindakan yang sama. Semakin lama mereka mendiami
kawasan akan semakin memperkuat eksistensi mereka. Mereka juga menganggap bahwa
mereka sudah mendiami kawasan hutan tersebut secara turun-temurun, bahkan seringkali memunculkan pemahaman di kalangan
masyarakat dan di lingkup aparat pemerintahan, bahwa dengan menduduki dan
menempati tanah selama sekian puluh tahun lamanya maka masyarakat menjadi
berhak atas tanah kawasan hutan yang didudukinya dan karenya menurut anggapan
mereka adalah wajar apabila masyarakat mengajukan permohonan hak atas tanah
atau sertifikat (Eko. 2013).
C. Penyelesaian
Perum Perhutani sebagai
Perusahaan yang diberi tugas untuk mengelola hutan di Jawa harus tegas dalam
menjalankan tugas tersebut. Perum
Perhutani harus melihat kembali penugasan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41
tahun 1999. Dalam Undang-undang tersebut
tercantum Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan bahwa kawasan hutan diartikan
sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kewenangan
untuk menetapkan status hutan berada di tangan pemerintah.
Menurut Eko. 2009, Ideologi
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia tercermin dalam rumusan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan kemudian
dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menegaskan mengenai Hak Menguasai dari
Negara (HMN), sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk mengatur
hubungan-hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum warga negara yang
menyangkut bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Perum Perhutani
adalah BUMN bidang kehutanan yang diberi pelimpahan kewenangan pengelolaan
hutan negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat
serta Provinsi Banten kecuali hutan konservasi. Kewenangan untuk mengelola
“hutan Jawa” ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang
Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan negara. Landasan hukum pelimpahan kewenangan
pengelolaan hutan. Selain PP 72 Tahun 2010, landasan hukum Perum Perhutani
dalam melaksanakan pengelolaan hutan dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 21
UU Kehutanan yang menyatakan bahwa “Pengelolaan
hutan pada dasarnya merupakan kewenangan pemerintah (pusat) dan atau pemerintah
daerah, namun mengingat kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat berkait dengan kelestarian
hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan kemampuan pengelolaan
secara khusus, maka pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayah tertentu dapat
dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, baik berbentuk
perusahaan umum (Perum), perusahaan jawatan (Perjan) maupun perusahaan
perseroan (Persero), yang pembinaannya di bawah Menteri Kehutanan.”
Penegasan ini harus
selalu disosialisasikan kepada semua masyarakat, stakeholder dan juga petugas
Perum Perhutani sendiri, agar semua dapat mengerti dan memahami. Masyarakat dan
stakeholder dapat memahami bahwa hutan negara mempunyai
pengelola atas dasar delegasi atau pelimpahan kewenangan sehingga masyarakat
tidak begitu saja dapat keluar masuk hutan dan memanfaatkan hutan tanpa ijin
dari yang diberi kewenangan. Petugas Perum Perhutani juga bisa memahami bahwa
mengelola hutan merupakan amanah dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
sehingga apabila tidak melaksanakan amanah dari Undang-Undang dan peraturan
pemerintah terancam sanksi sesuai yang juga terdapat dalam Undang-Undang No. 41
tahun 1999. Pasal 78 ayat (2) berbunyi
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah). Pasal 50 ayat (3) tersebut menyebutkan larangan untuk (a) mengerjakan dan atau
menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; (b). merambah
kawasan hutan; dan (c). melakukan
penebangan pohon dalam kawasan hutan. Petugas yang melakukan kelalaian dan
pembiaran akan dikenai sanksi sesuai dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Pada Pasal 104 jo. Pasal 27 Jo.
Pasal 12 Pembiaran dan tidak menjalankan tindakan sesuai kewenangan akan dikenai
sanksi penjara 6 bln s/d 15 th serta denda 1 M s/d 7.5 M. Selain
ketentuan tersebut, khusus untuk pejabat yaitu orang yang diperintahkan atau
orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu tugas dan
tanggung jawab tertentu, dalam Pasal 105 disebutkan bahwa: Setiap pejabat yang
dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga
terjadi penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta
pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Daftar Pusataka
Anonim. 1999.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 41 tentang Kehutanan.
Anonim. 2010. Peraturan
Pemerintah No. 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara
Santoso,
Urip. 2009. Pengaruh Perambah terhadap Kerusakan Kawasan Hutan Produksi
Terbatas (HPT) di Wilayah Kabupaten Seluma. https://uwityangyoyo.wordpress.com/2009/04/05/pengaruh-perambah-terhadap-kerusakan-kawasan-hutan-produksi-terbatas-hpt-di-wilayah-kabupaten-seluma/ diunduh tanggal 4 Maret 2016
pukul 22.07 WIB
Eko,
bambang Supriyadi. 2013. Hukum Agraria Kehutanan. Aspek Hukum Pertanahan Dalam
Pengelolaan Hutan Negara. P.T. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar