Menurut Saragih (2010), agribisnis merupakan suatu cara
lain untuk melihat pertanian sebagai suatu sistem bisnis yang terdiri dari
empat subsistem yang terkait satu sama lain yaitu sebagai berikut.
a.
Subsistem
agribisnis hulu yang mencakup semua kegiatan untuk memproduksi dan menyalurkan
input-input pertanian dalam arti luas.
b.
Subsistem
agribisnis usaha tani merupakan kegiatan yang dikenal sebagai kegiatan usaha
tani, yaitu kegiatan di tingkat petani, pekebun, peternak dan nelayan termasuk
pula kegiatan kehutanan yang mengelola input-input (lahan, tenaga kerja, modal,
teknologi dan manajemen) untuk menghasilkan produk pertanian.
c.
Subsistem
agribisnis hilir, yang sering disebut sebagai kegiatan agroindustri atau
kegiatan industri yang menggunakan produk pertanian sebagai bahan baku.
d.
Subsistem jasa
penunjang (supporting institution),
yaitu kegiatan jasa yang melayani pertanian seperti kebijakan pemerintah,
perbankan, penyuluhan, pembiayaan dan lain-lain.
Usaha di bidang
pertanian di Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Berdasarkan segi skala
usaha, ada yang berskala besar (seperti perusahaan perkebunan, industri minyak
sawit, dan lain-lain), ada yang berskala menengah (seperti beberapa
agroindustri menengah dan perkebunan menengah), serta ada yang berskala kecil
(seperti usaha tani-usaha tani dengan luas lahan di bawah 25 hektar dan
berbagai industri skala rumah tangga). Namun, apabila dikaji dari jumlah
usahanya, maka usaha berskala kecil adalah yang paling banyak. Diperkirakan
jumlahnya mencapai 90% dari seluruh usaha agribisnis di Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan sektor agribisnis hendaknya terus dikembangkan dengan
pendekatan sistem agribisnis yang berorientasi pada komersialisasi usaha atau
industri pedesaan dan pertanian rakyat yang modern (Said, 2004).
Pengembangan
agribisnis tidak akan efektif dan efisien bila hanya mengembangkan salah satu
subsistem yang ada di dalamnya. Sebagai contoh, pengembangan usaha budidaya di
suatu daerah sangat berhasil dalam meningkatkan produksi dan mutu produknya,
tetapi tidak berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat secara nyata karena
tidak disertai dengan pengembangan dan penyiapan sistem pemasarannya. Dengan
demikian, produksi yang melimpah hanya akan menjadi busuk di lahan atau di tong
sampah dan produsennya merasa sangat kecewa. Contoh tersebut menjadi salah satu
fenomena pengembangan agribisnis yang tidak terpadu dan sering terjadi di
Indonesia.
Di lain pihak,
menurut Soehardjo (1997) dalam Said (2004), persyaratan-persyaratan
untuk memiliki wawasan agribisnis adalah sebagai berikut.
a.
Memandang
agribisnis sebagai sebuah sistem yang terdiri atas beberapa subsistem. Sistem
tersebut akan berfungsi baik apabila tidak ada gangguan pada salah satu
subsistem (Gambar 2). Pengembangan agribisnis harus mengembangkan semua subsistem
di dalamnya karena tidak ada satu subsistem yang lebih penting dari subsistem
lainnya.
b.
Setiap
subsistem dalam sistem agribisnis mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke
depan. Tanda panah ke belakang ke kiri pada subsistem pengolahan (SS-III) menunjukkan
bahwa SS-III akan berfungsi dengan baik apabila ditunjang oleh ketersediaan
bahan baku yang dihasilkan oleh SS-II. Tanda panah ke depan (ke kanan) pada
SS-III menunjukkan bahwa subsistem pengolahan (SS-III) akan berhasil dengan
baik jika menemukan pasar untuk produksinya.
c. Agribisnis
memerlukan lembaga penunjang, seperti lembaga pertanahan, pembiayaan/ keuangan,
pendidikan, penelitian, dan perhubungan. Lembaga pendidikan dan pelatihan
mempersiapkan para pelaku agribisnis yang profesional, sedangkan lembaga
penelitian memberikan sumbangan berupa teknologi dan informasi. Lembaga-lembaga
penunjang kebanyakan berada di luar sektor pertanian, sehingga sektor pertanian
semakin erat terkait dengan sektor lainnya. Dengan demikian akan semakin besar
sumbangan yang dapat diberikan sektor agribisnis terhadap ekonomi nasional. Di
samping memberikan sumbangan terhadap produk domestik bruto (PDB), agribisnis
juga berperan sebagai penyedia bahan kebutuhan hidup (pangan, perumahan, dan
pakaian), penghasil devisa, pencipta lapangan kerja, dan sumber peningkatan
pendapatan masyarakat.
d. Agribisnis
melibatkan pelaku dari berbagai pihak (BUMN), swasta, dan koperasi) dengan profesi
sebagai penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir,
eksportir, dan lain-lain. Kualitas sumber daya manusia di atas sangat
menentukan berfungsinya subsistem-subsistem dalam sistem agribisnis dan dalam
memelihara kelancaran arus komoditas dari produsen ke konsumen. Petani kecil
adalah salah satu pelaku dalam agribisnis, sehingga merupakan kekeliruan besar
apabila tidak memberikan perhatian dan tidak mengikutsertakan mereka, yang pada
saat ini jumlahnya diperkirakan tidak kurang dari 18 juta rumah tangga.
Menurut Soedijanto, 1993 dalam
Saragih (2001), agribisnis sebagai semua kegiatan di sektor pertanian dimulai
dari penyediaan sarana produksi, proses produksi, penanganan pasca panen,
pengolahan dan pemasaran, sehingga produk tersebut sampai ke konsumen.
Cakupan sistem agribisnis
secara lengkap menurut Saragih (2001) adalah : (1) subsistem pengadaan sapronak
(input factors); (2)
subsistem budidaya (production); (3)
subsistem pengolahan hasil (processing);
(4) subsistem pemasaran (marketing), dan (5) subsistem kelembagaan (supporting institution).
Menurut Saragih (2001) yang dikutip oleh Suryanto (2004) bahwa Pembangunan agribisnis ternak
ruminansia dengan menggunakan pendekatan sistem agribisnis dapat dikelompokkan
menjadi 4 sistem yaitu sebagai
berikut.
1. Subsistem
agribisnis hulu (upstream off-farm
agribusiness), mencakup kegiatan ekonomi industri yang menghasilkan sarana
produksi seperti pembibitan ternak, usaha industri pakan, industri obat-obatan,
industri insiminasi buatan dan lain-lain beserta kegiatan perdagangannya.
2.
Subsistem
agribisnis budidaya usaha tani ternak (on-farm
agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang selama ini disebut budidaya usaha
tani ternak yang menggunakan sarana produksi usaha tani untuk menghasilkan
produksi ternak primer (farm-product).
3. Subsistem
agribisnis hilir (downstream off-farm
agribusiness) yaitu kegiatan industri agro yang mengolah produk pertanian
primer menjadi produk olahan dan memperdagangkan hasil olahan ternak. Dalam
subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri pengolahan/
pengalengan daging, industri pengawetan kulit, industri penyamaan kulit,
industri sepatu, industri pengolahan susu dan lain-lain beserta perdagangannya
di dalam negeri maupun ekspor.
4.
Subsistem jasa
penunjang (supporting institution), yaitu
kegiatan yang menyediakan jasa dalam agribisnis ternak seperti perbankan
transportasi, penyuluhan, peskesnak, holding ground, kebijakan pemerintah
(Ditjen Produksi Peternakan), Lembaga Pendidikan dan Penelitian dan lain-lain.
Kegiatan agribisnis ternak tersebut, di tingkat
peternakan rakyat sebagian besar masih terpisah-pisah, belum terkait secara
utuh dalam satu sistem. Agribisnis yang hanya pada kegiatan subsistem budidaya usaha
tani ternak ruminansia yang dilakukan petani ternak, sulit diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan. Oleh karena nilai tambah yang terbesar berada pada
subsistem agribisnis hulu dan subsistem agribisnis hilir (Saragih, 2000;
Suryanto, 2004).
Secara ringkas dinyatakan bahwa sistem agribisnis
menekankan pada keterkaitan dan integrasi vertikal antara beberapa subsistem
bisnis dalam satu sistem komoditas (Saragih, 2010). Kegiatan agroforestry dapat digolongkan sebagai
agribisnis karena untuk mengembangkan suatu sistem agroforestry ditempuh pendekatan usaha tani (farming system). Dengan model usaha tani ini, keputusan petani
dalam memilih teknologi dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan alam dan
sosial ekonomi (Departemen Kehutanan, 1992). Lingkungan alam terdiri dari
keadaan tanah, topografi, kondisi-kondisi biologi (hama dan penyakit, fisiologi
tanaman), curah hujan dan kelembaban.
Kondisi sosial ekonomi dapat bersifat eksternal dan
internal antara lain berupa tujuan usaha tani dan sumberdaya, kendala-kendala
mengenai lahan, tenaga kerja dan modal kerja serta pasar input dan output,
kelembagaan, infrastruktur dan fasilitas yang kesemuanya dapat dipengaruhi oleh
kebijakan nasional. Dalam pelaksanaannya,
kegiatan agroforestry
melibatkan sumberdaya alam dengan komponen-komponennya (air, tanah, hutan dan
sumberdaya manusia) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti
faktor-faktor iklim, sosial ekonomi, politik, budaya dan biofisik. Pelaksanaan agroforestry direncanakan sejak awal
sebagai suatu bagian integral dari sistem bisnis agroforestry di daerah yang bersangkutan. Sistem bisnis agroforestry meliputi subsistem
produksi, pemberian input, proses pasca panen dan pemasaran (Departemen
Kehutanan, 1992). Disamping itu, pengembangan sistem bisnis agroforestry akan berjalan lancar
apabila ditopang oleh sistem sarana dan prasarana dan pengembangan kelembagaan
yang sesuai.
Pengembangan agroforestry
harus merupakan bagian terintegrasi dari pembangunan regional dengan tujuan
mengurangi penggundulan hutan, konservasi flora dan fauna dan plasma nutfah,
mengurangi erosi tanah dan menumbuhkan peningkatan produktivitas tanah yang
stabil dan berkesinambungan. Bila sasaran-sasaran ini tercapai, maka diharapkan
kesejahteraan rakyat di dalam dan di sekitar hutan akan meningkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar