Rabu, 26 September 2012

Agroforestry sebagai Subsistem Agribisnis

          Agribisnis merupakan suatu kegiatan usaha ekonomi/bisnis yang berkaitan dengan sektor pertanian dalam arti luas (pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan) yang merupakan sektor usaha  berbasis sumberdaya (resource base) (Saragih, 2010). Agribisnis merupakan suatu kegiatan usaha yang berkaitan dengan sektor bisnis pertanian, mencakup perusahaan-perusahaan pemasok input agribisnis (upstream-side industries), penghasil (agricultural-producing industries), pengolah produk agribisnis (downstream-side industries) dan jasa pengangkutan, jasa keuangan (agri-supporting industries). Sementara itu, menurut Tjakrawerdaya, 1996 dalam Said (2004), agribisnis secara umum mengandung pengertian sebagai keseluruhan operasi yang terkait dengan aktivitas untuk menghasilkan dan mendistribusikan input produksi, aktivitas untuk produksi usaha tani, untuk pengolahan dan pemasaran.

Menurut Saragih (2010), agribisnis merupakan suatu cara lain untuk melihat pertanian sebagai suatu sistem bisnis yang terdiri dari empat subsistem yang terkait satu sama lain yaitu sebagai berikut.
a.         Subsistem agribisnis hulu yang mencakup semua kegiatan untuk memproduksi dan menyalurkan input-input pertanian dalam arti luas.
b.        Subsistem agribisnis usaha tani merupakan kegiatan yang dikenal sebagai kegiatan usaha tani, yaitu kegiatan di tingkat petani, pekebun, peternak dan nelayan termasuk pula kegiatan kehutanan yang mengelola input-input (lahan, tenaga kerja, modal, teknologi dan manajemen) untuk menghasilkan produk pertanian.
c.         Subsistem agribisnis hilir, yang sering disebut sebagai kegiatan agroindustri atau kegiatan industri yang menggunakan produk pertanian sebagai bahan baku.
d.        Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan jasa yang melayani pertanian seperti kebijakan pemerintah, perbankan, penyuluhan, pembiayaan dan lain-lain.
Usaha di bidang pertanian di Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Berdasarkan segi skala usaha, ada yang berskala besar (seperti perusahaan perkebunan, industri minyak sawit, dan lain-lain), ada yang berskala menengah (seperti beberapa agroindustri menengah dan perkebunan menengah), serta ada yang berskala kecil (seperti usaha tani-usaha tani dengan luas lahan di bawah 25 hektar dan berbagai industri skala rumah tangga). Namun, apabila dikaji dari jumlah usahanya, maka usaha berskala kecil adalah yang paling banyak. Diperkirakan jumlahnya mencapai 90% dari seluruh usaha agribisnis di Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan sektor agribisnis hendaknya terus dikembangkan dengan pendekatan sistem agribisnis yang berorientasi pada komersialisasi usaha atau industri pedesaan dan pertanian rakyat yang modern (Said, 2004).
Pengembangan agribisnis tidak akan efektif dan efisien bila hanya mengembangkan salah satu subsistem yang ada di dalamnya. Sebagai contoh, pengembangan usaha budidaya di suatu daerah sangat berhasil dalam meningkatkan produksi dan mutu produknya, tetapi tidak berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat secara nyata karena tidak disertai dengan pengembangan dan penyiapan sistem pemasarannya. Dengan demikian, produksi yang melimpah hanya akan menjadi busuk di lahan atau di tong sampah dan produsennya merasa sangat kecewa. Contoh tersebut menjadi salah satu fenomena pengembangan agribisnis yang tidak terpadu dan sering terjadi di Indonesia.
Di lain pihak, menurut Soehardjo (1997) dalam Said (2004),  persyaratan-persyaratan untuk memiliki wawasan agribisnis adalah sebagai berikut.
a.         Memandang agribisnis sebagai sebuah sistem yang terdiri atas beberapa subsistem. Sistem tersebut akan berfungsi baik apabila tidak ada gangguan pada salah satu subsistem (Gambar 2). Pengembangan agribisnis harus mengembangkan semua subsistem di dalamnya karena tidak ada satu subsistem yang lebih penting dari subsistem lainnya.
b.        Setiap subsistem dalam sistem agribisnis mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan. Tanda panah ke belakang ke kiri pada subsistem pengolahan (SS-III) menunjukkan bahwa SS-III akan berfungsi dengan baik apabila ditunjang oleh ketersediaan bahan baku yang dihasilkan oleh SS-II. Tanda panah ke depan (ke kanan) pada SS-III menunjukkan bahwa subsistem pengolahan (SS-III) akan berhasil dengan baik jika menemukan pasar untuk produksinya. 
c.       Agribisnis memerlukan lembaga penunjang, seperti lembaga pertanahan, pembiayaan/ keuangan, pendidikan, penelitian, dan perhubungan. Lembaga pendidikan dan pelatihan mempersiapkan para pelaku agribisnis yang profesional, sedangkan lembaga penelitian memberikan sumbangan berupa teknologi dan informasi. Lembaga-lembaga penunjang kebanyakan berada di luar sektor pertanian, sehingga sektor pertanian semakin erat terkait dengan sektor lainnya. Dengan demikian akan semakin besar sumbangan yang dapat diberikan sektor agribisnis terhadap ekonomi nasional. Di samping memberikan sumbangan terhadap produk domestik bruto (PDB), agribisnis juga berperan sebagai penyedia bahan kebutuhan hidup (pangan, perumahan, dan pakaian), penghasil devisa, pencipta lapangan kerja, dan sumber peningkatan pendapatan masyarakat.
d.       Agribisnis melibatkan pelaku dari berbagai pihak (BUMN), swasta, dan koperasi) dengan profesi sebagai penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir, eksportir, dan lain-lain. Kualitas sumber daya manusia di atas sangat menentukan berfungsinya subsistem-subsistem dalam sistem agribisnis dan dalam memelihara kelancaran arus komoditas dari produsen ke konsumen. Petani kecil adalah salah satu pelaku dalam agribisnis, sehingga merupakan kekeliruan besar apabila tidak memberikan perhatian dan tidak mengikutsertakan mereka, yang pada saat ini jumlahnya diperkirakan tidak kurang dari 18 juta rumah tangga.
Menurut Soedijanto, 1993 dalam Saragih (2001), agribisnis sebagai semua kegiatan di sektor pertanian dimulai dari penyediaan sarana produksi, proses produksi, penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran, sehingga produk tersebut sampai ke konsumen.
 
Cakupan sistem agribisnis secara lengkap menurut Saragih (2001) adalah : (1) subsistem pengadaan sapronak (input factors); (2) subsistem budidaya (production); (3) subsistem pengolahan hasil (processing); (4) subsistem pemasaran (marketing), dan (5) subsistem kelembagaan (supporting institution).
Menurut Saragih (2001) yang dikutip oleh Suryanto (2004) bahwa Pembangunan agribisnis ternak ruminansia dengan menggunakan pendekatan sistem agribisnis dapat dikelompokkan menjadi 4 sistem yaitu sebagai berikut.
1.       Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness), mencakup kegiatan ekonomi industri yang menghasilkan sarana produksi seperti pembibitan ternak, usaha industri pakan, industri obat-obatan, industri insiminasi buatan dan lain-lain beserta kegiatan perdagangannya.
2.        Subsistem agribisnis budidaya usaha tani ternak (on-farm agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang selama ini disebut budidaya usaha tani ternak yang menggunakan sarana produksi usaha tani untuk menghasilkan produksi ternak primer (farm-product).
3.       Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness) yaitu kegiatan industri agro yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan dan memperdagangkan hasil olahan ternak. Dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri pengolahan/ pengalengan daging, industri pengawetan kulit, industri penyamaan kulit, industri sepatu, industri pengolahan susu dan lain-lain beserta perdagangannya di dalam negeri maupun ekspor.
4.        Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa dalam agribisnis ternak seperti perbankan transportasi, penyuluhan, peskesnak, holding ground, kebijakan pemerintah (Ditjen Produksi Peternakan), Lembaga Pendidikan dan Penelitian dan lain-lain.
Kegiatan agribisnis ternak tersebut, di tingkat peternakan rakyat sebagian besar masih terpisah-pisah, belum terkait secara utuh dalam satu sistem. Agribisnis yang hanya pada kegiatan subsistem budidaya usaha tani ternak ruminansia yang dilakukan petani ternak, sulit diharapkan dapat meningkatkan pendapatan. Oleh karena nilai tambah yang terbesar berada pada subsistem agribisnis hulu dan subsistem agribisnis hilir (Saragih, 2000; Suryanto, 2004).
Secara ringkas dinyatakan bahwa sistem agribisnis menekankan pada keterkaitan dan integrasi vertikal antara beberapa subsistem bisnis dalam satu sistem komoditas (Saragih, 2010). Kegiatan agroforestry dapat digolongkan sebagai agribisnis karena untuk mengembangkan suatu sistem agroforestry ditempuh pendekatan usaha tani (farming system). Dengan model usaha tani ini, keputusan petani dalam memilih teknologi dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan alam dan sosial ekonomi (Departemen Kehutanan, 1992). Lingkungan alam terdiri dari keadaan tanah, topografi, kondisi-kondisi biologi (hama dan penyakit, fisiologi tanaman), curah hujan dan kelembaban.
Kondisi sosial ekonomi dapat bersifat eksternal dan internal antara lain berupa tujuan usaha tani dan sumberdaya, kendala-kendala mengenai lahan, tenaga kerja dan modal kerja serta pasar input dan output, kelembagaan, infrastruktur dan fasilitas yang kesemuanya dapat dipengaruhi oleh kebijakan nasional. Dalam pelaksanaannya,  kegiatan agroforestry melibatkan sumberdaya alam dengan komponen-komponennya (air, tanah, hutan dan sumberdaya manusia) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti faktor-faktor iklim, sosial ekonomi, politik, budaya dan biofisik. Pelaksanaan agroforestry direncanakan sejak awal sebagai suatu bagian integral dari sistem bisnis agroforestry di daerah yang bersangkutan. Sistem bisnis agroforestry meliputi subsistem produksi, pemberian input, proses pasca panen dan pemasaran (Departemen Kehutanan, 1992). Disamping itu, pengembangan sistem bisnis agroforestry akan berjalan lancar apabila ditopang oleh sistem sarana dan prasarana dan pengembangan kelembagaan yang sesuai.
Pengembangan agroforestry harus merupakan bagian terintegrasi dari pembangunan regional dengan tujuan mengurangi penggundulan hutan, konservasi flora dan fauna dan plasma nutfah, mengurangi erosi tanah dan menumbuhkan peningkatan produktivitas tanah yang stabil dan berkesinambungan. Bila sasaran-sasaran ini tercapai, maka diharapkan kesejahteraan rakyat di dalam dan di sekitar hutan akan meningkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar