Tampilkan postingan dengan label Agribisnis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agribisnis. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 September 2012

Agroforestry sebagai Subsistem Agribisnis

          Agribisnis merupakan suatu kegiatan usaha ekonomi/bisnis yang berkaitan dengan sektor pertanian dalam arti luas (pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan) yang merupakan sektor usaha  berbasis sumberdaya (resource base) (Saragih, 2010). Agribisnis merupakan suatu kegiatan usaha yang berkaitan dengan sektor bisnis pertanian, mencakup perusahaan-perusahaan pemasok input agribisnis (upstream-side industries), penghasil (agricultural-producing industries), pengolah produk agribisnis (downstream-side industries) dan jasa pengangkutan, jasa keuangan (agri-supporting industries). Sementara itu, menurut Tjakrawerdaya, 1996 dalam Said (2004), agribisnis secara umum mengandung pengertian sebagai keseluruhan operasi yang terkait dengan aktivitas untuk menghasilkan dan mendistribusikan input produksi, aktivitas untuk produksi usaha tani, untuk pengolahan dan pemasaran.

Menurut Saragih (2010), agribisnis merupakan suatu cara lain untuk melihat pertanian sebagai suatu sistem bisnis yang terdiri dari empat subsistem yang terkait satu sama lain yaitu sebagai berikut.
a.         Subsistem agribisnis hulu yang mencakup semua kegiatan untuk memproduksi dan menyalurkan input-input pertanian dalam arti luas.
b.        Subsistem agribisnis usaha tani merupakan kegiatan yang dikenal sebagai kegiatan usaha tani, yaitu kegiatan di tingkat petani, pekebun, peternak dan nelayan termasuk pula kegiatan kehutanan yang mengelola input-input (lahan, tenaga kerja, modal, teknologi dan manajemen) untuk menghasilkan produk pertanian.
c.         Subsistem agribisnis hilir, yang sering disebut sebagai kegiatan agroindustri atau kegiatan industri yang menggunakan produk pertanian sebagai bahan baku.
d.        Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan jasa yang melayani pertanian seperti kebijakan pemerintah, perbankan, penyuluhan, pembiayaan dan lain-lain.
Usaha di bidang pertanian di Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Berdasarkan segi skala usaha, ada yang berskala besar (seperti perusahaan perkebunan, industri minyak sawit, dan lain-lain), ada yang berskala menengah (seperti beberapa agroindustri menengah dan perkebunan menengah), serta ada yang berskala kecil (seperti usaha tani-usaha tani dengan luas lahan di bawah 25 hektar dan berbagai industri skala rumah tangga). Namun, apabila dikaji dari jumlah usahanya, maka usaha berskala kecil adalah yang paling banyak. Diperkirakan jumlahnya mencapai 90% dari seluruh usaha agribisnis di Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan sektor agribisnis hendaknya terus dikembangkan dengan pendekatan sistem agribisnis yang berorientasi pada komersialisasi usaha atau industri pedesaan dan pertanian rakyat yang modern (Said, 2004).
Pengembangan agribisnis tidak akan efektif dan efisien bila hanya mengembangkan salah satu subsistem yang ada di dalamnya. Sebagai contoh, pengembangan usaha budidaya di suatu daerah sangat berhasil dalam meningkatkan produksi dan mutu produknya, tetapi tidak berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat secara nyata karena tidak disertai dengan pengembangan dan penyiapan sistem pemasarannya. Dengan demikian, produksi yang melimpah hanya akan menjadi busuk di lahan atau di tong sampah dan produsennya merasa sangat kecewa. Contoh tersebut menjadi salah satu fenomena pengembangan agribisnis yang tidak terpadu dan sering terjadi di Indonesia.
Di lain pihak, menurut Soehardjo (1997) dalam Said (2004),  persyaratan-persyaratan untuk memiliki wawasan agribisnis adalah sebagai berikut.
a.         Memandang agribisnis sebagai sebuah sistem yang terdiri atas beberapa subsistem. Sistem tersebut akan berfungsi baik apabila tidak ada gangguan pada salah satu subsistem (Gambar 2). Pengembangan agribisnis harus mengembangkan semua subsistem di dalamnya karena tidak ada satu subsistem yang lebih penting dari subsistem lainnya.
b.        Setiap subsistem dalam sistem agribisnis mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan. Tanda panah ke belakang ke kiri pada subsistem pengolahan (SS-III) menunjukkan bahwa SS-III akan berfungsi dengan baik apabila ditunjang oleh ketersediaan bahan baku yang dihasilkan oleh SS-II. Tanda panah ke depan (ke kanan) pada SS-III menunjukkan bahwa subsistem pengolahan (SS-III) akan berhasil dengan baik jika menemukan pasar untuk produksinya. 
c.       Agribisnis memerlukan lembaga penunjang, seperti lembaga pertanahan, pembiayaan/ keuangan, pendidikan, penelitian, dan perhubungan. Lembaga pendidikan dan pelatihan mempersiapkan para pelaku agribisnis yang profesional, sedangkan lembaga penelitian memberikan sumbangan berupa teknologi dan informasi. Lembaga-lembaga penunjang kebanyakan berada di luar sektor pertanian, sehingga sektor pertanian semakin erat terkait dengan sektor lainnya. Dengan demikian akan semakin besar sumbangan yang dapat diberikan sektor agribisnis terhadap ekonomi nasional. Di samping memberikan sumbangan terhadap produk domestik bruto (PDB), agribisnis juga berperan sebagai penyedia bahan kebutuhan hidup (pangan, perumahan, dan pakaian), penghasil devisa, pencipta lapangan kerja, dan sumber peningkatan pendapatan masyarakat.
d.       Agribisnis melibatkan pelaku dari berbagai pihak (BUMN), swasta, dan koperasi) dengan profesi sebagai penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir, eksportir, dan lain-lain. Kualitas sumber daya manusia di atas sangat menentukan berfungsinya subsistem-subsistem dalam sistem agribisnis dan dalam memelihara kelancaran arus komoditas dari produsen ke konsumen. Petani kecil adalah salah satu pelaku dalam agribisnis, sehingga merupakan kekeliruan besar apabila tidak memberikan perhatian dan tidak mengikutsertakan mereka, yang pada saat ini jumlahnya diperkirakan tidak kurang dari 18 juta rumah tangga.
Menurut Soedijanto, 1993 dalam Saragih (2001), agribisnis sebagai semua kegiatan di sektor pertanian dimulai dari penyediaan sarana produksi, proses produksi, penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran, sehingga produk tersebut sampai ke konsumen.
 
Cakupan sistem agribisnis secara lengkap menurut Saragih (2001) adalah : (1) subsistem pengadaan sapronak (input factors); (2) subsistem budidaya (production); (3) subsistem pengolahan hasil (processing); (4) subsistem pemasaran (marketing), dan (5) subsistem kelembagaan (supporting institution).
Menurut Saragih (2001) yang dikutip oleh Suryanto (2004) bahwa Pembangunan agribisnis ternak ruminansia dengan menggunakan pendekatan sistem agribisnis dapat dikelompokkan menjadi 4 sistem yaitu sebagai berikut.
1.       Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness), mencakup kegiatan ekonomi industri yang menghasilkan sarana produksi seperti pembibitan ternak, usaha industri pakan, industri obat-obatan, industri insiminasi buatan dan lain-lain beserta kegiatan perdagangannya.
2.        Subsistem agribisnis budidaya usaha tani ternak (on-farm agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang selama ini disebut budidaya usaha tani ternak yang menggunakan sarana produksi usaha tani untuk menghasilkan produksi ternak primer (farm-product).
3.       Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness) yaitu kegiatan industri agro yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan dan memperdagangkan hasil olahan ternak. Dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri pengolahan/ pengalengan daging, industri pengawetan kulit, industri penyamaan kulit, industri sepatu, industri pengolahan susu dan lain-lain beserta perdagangannya di dalam negeri maupun ekspor.
4.        Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa dalam agribisnis ternak seperti perbankan transportasi, penyuluhan, peskesnak, holding ground, kebijakan pemerintah (Ditjen Produksi Peternakan), Lembaga Pendidikan dan Penelitian dan lain-lain.
Kegiatan agribisnis ternak tersebut, di tingkat peternakan rakyat sebagian besar masih terpisah-pisah, belum terkait secara utuh dalam satu sistem. Agribisnis yang hanya pada kegiatan subsistem budidaya usaha tani ternak ruminansia yang dilakukan petani ternak, sulit diharapkan dapat meningkatkan pendapatan. Oleh karena nilai tambah yang terbesar berada pada subsistem agribisnis hulu dan subsistem agribisnis hilir (Saragih, 2000; Suryanto, 2004).
Secara ringkas dinyatakan bahwa sistem agribisnis menekankan pada keterkaitan dan integrasi vertikal antara beberapa subsistem bisnis dalam satu sistem komoditas (Saragih, 2010). Kegiatan agroforestry dapat digolongkan sebagai agribisnis karena untuk mengembangkan suatu sistem agroforestry ditempuh pendekatan usaha tani (farming system). Dengan model usaha tani ini, keputusan petani dalam memilih teknologi dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan alam dan sosial ekonomi (Departemen Kehutanan, 1992). Lingkungan alam terdiri dari keadaan tanah, topografi, kondisi-kondisi biologi (hama dan penyakit, fisiologi tanaman), curah hujan dan kelembaban.
Kondisi sosial ekonomi dapat bersifat eksternal dan internal antara lain berupa tujuan usaha tani dan sumberdaya, kendala-kendala mengenai lahan, tenaga kerja dan modal kerja serta pasar input dan output, kelembagaan, infrastruktur dan fasilitas yang kesemuanya dapat dipengaruhi oleh kebijakan nasional. Dalam pelaksanaannya,  kegiatan agroforestry melibatkan sumberdaya alam dengan komponen-komponennya (air, tanah, hutan dan sumberdaya manusia) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti faktor-faktor iklim, sosial ekonomi, politik, budaya dan biofisik. Pelaksanaan agroforestry direncanakan sejak awal sebagai suatu bagian integral dari sistem bisnis agroforestry di daerah yang bersangkutan. Sistem bisnis agroforestry meliputi subsistem produksi, pemberian input, proses pasca panen dan pemasaran (Departemen Kehutanan, 1992). Disamping itu, pengembangan sistem bisnis agroforestry akan berjalan lancar apabila ditopang oleh sistem sarana dan prasarana dan pengembangan kelembagaan yang sesuai.
Pengembangan agroforestry harus merupakan bagian terintegrasi dari pembangunan regional dengan tujuan mengurangi penggundulan hutan, konservasi flora dan fauna dan plasma nutfah, mengurangi erosi tanah dan menumbuhkan peningkatan produktivitas tanah yang stabil dan berkesinambungan. Bila sasaran-sasaran ini tercapai, maka diharapkan kesejahteraan rakyat di dalam dan di sekitar hutan akan meningkat.
READ MORE - Agroforestry sebagai Subsistem Agribisnis

Selasa, 05 Juli 2011

Teknologi Pengemasan Gondorukem Dalam Rangka Meningkatkan Penjualan dan Menambah Penghasilan

I.      Pendahuluan
Hutan merupakan sumber kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan memiliki fungsi produksi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia baik yang berasal dari kayu dan non kayu. Produksi hutan yang berupa non kayu tersebut salah satunya berasal dari Pinus merkusii Jungh et de Vriese yang pada akhir daur hidupnya dapat disadap untuk menghasilkan getah yang akan diolah pada suatu industri hulu yaitu pabrik pengolahan getah pinus dan menghasilkan produk industri non kayu berupa gondorukem.

Produk gondorukem digunakan sebagai bahan baku yang penting bagi industri batik, kulit, sabun cuci, cat, isolator, kosmetik, kertas, vernis, ramuan semir sepatu, pelarut bahan organik, dan bahan pembuatan kamper sintesis.

Salah satu Badan Usaha Milik Negara yang melakukan pengolahan getah pinus adalah Perum Perhutani. Perum Perhutani memiliki pabrik-pabrik pengolah getah pinus baik di Jawa barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Produk gondorukem yang dihasilkan oleh Perum Perhutani  ditujukan untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Negara tujuan ekspor  untuk produk gondorukem adalah ke Bangladesh, Korea, Jepang, Karaci, Litagong, Cina, Taiwan, Pakistan, Perancis, Rotherdam, Polandia, Hanburg dan Laspysia.

Penghasilan Perum Perhutani Unit I dari hasil ekspor gondorukem pada tahun 2008 mencapai lebih dari Rp 200 Milyar bahkan untuk seluruh Perhutani penghasilan ekspor dari produk gondoruken mencapai lebih dari Rp 500 Milyar. Hal ini menunjukkan bahwa produk gondorukem sebagai hasil hutan bukan kayu produk yang dapat dijadikan tumpuan bagi Perum Perhutani.

Namun karena produk gondorukem lebih banyak ditujukan untuk ekspor, maka perlu diperhatikan teknologi pengangkutan dan pengirimannya. Dalam pengiriman, harus dilakukan pengemasan yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dengan maksud untuk menghindari terjadinya kerusakan mutu produk dalam pengiriman atau selama penyimpanan. Selain itu dalam pengemasan gondorukem untuk keperluan ekspor juga perlu dipertimbangkan ukuran kemasan yang dapat dimuat oleh container sehingga penempatannya dapat diatur sedemikian rupa agar pengangkutan bisa lebih optimal.

II.    Gondorukem
Gondorukem merupakan produk olahan dari getah pohon pinus (famili Pinaceae) yang saat ini merupakan komoditi andalan non migas yang bukan berasal dari kayu atau rotan (Susilowati, 2001 dalam Prawira, 2008). Jenis pohon pinus yang sering disadap adalah sebagai berikut :
-      Amerika       : Pinus palustris dan Pinus caribaeae
-      Perancis       : Pinus pinaster dan Pinus maritime
-      Spanyol       : Pinus pinaster
-      Austria         : Pinus laricio dan Pinus sylvestris
-      Portugis       : Pinus pinaster dan Pinus pinea
-      Rusia           : Pinus sylvestris
-      Indonesia     : Pinus merkusii

Menurut Badan Standardisasi Nasional (Anonim, 2001), gondorukem (Colophony) adalah padatan hasil penyulingan getah pohon pinus (Pinus merkusii). Nama lain gondorukem, antara lain gum rosin, pine resin, resin, siongka, kucing, dan sebagainya. Daerah penghasilnya tersebar luas di daerah pegunungan di Indonesia terutama di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Bali (Suryamiharja dan Buharman, 1986 dalam Prawira. 2001).

Gondorukem yang dihasilkan di Indonesia diklasifikasikan menjadi beberapa mutu yang ditentukan oleh Badan Standardisasi Nasional. Klasifikasi mutu dalam standar penggolongan gondorukem harus memenuhi syarat mutu dan syarat khusus yang telah ditetapkan. Mutu gondorukem yang dihasilkan dari pengolahan getah pinus dapat diklasifikasikan menurut warna, titik lunak, kadar kotoran, kadar abu, dan komponen menguap.

Klasifikasi Mutu gondorukem menurut Badan Standardisasi Nasional adalah :
Tabel 1  Klasifikasi mutu gondorukem
No.
Klasifikasi mutu
Tanda mutu
Dokumen
Kemasan
1.
Utama  (U)
X
X
2.
Pertama  (P)
WW
WW
3.
Kedua  (D)
WG
WG
4.
Ketiga  (T)
N
N

Berdasarkan tabel 1 tersebut dapat diketahui mutu gondorukem dapat diklasifikasikan menjadi 4 macam oleh Badan Standardisasi Nasional, yaitu mutu utama (X), mutu pertama (WW), mutu kedua (WG), dan mutu ketiga (N). Masing-masing mutu tersebut mempunyai persyaratan umum dan persyaratan khusus seperti tersaji selengkapnya pada Tabel 2 dan tabel 3.
Tabel 2  Persyaratan umum gondorukem
No.
Jenis uji
Persyaratan
1.
Bilangan asam
160 – 190
2.
Bilangan penyabunan
170 – 220
3.
Bilangan iod
5 - 25

Tabel 3  Persyaratan khusus mutu gondorukem
No
Jenis uji
Satuan
Persyaratan mutu
U
P
D
T
1.
Warna metode Lovibond Comparator

X
WW
WG
N
2.
Titik lunak
°C
> 78
> 78
> 76
> 74
3.
Kadar kotoran
%
< 0,02
< 0,05
< 0,07
< 0,10
4.
Kadar abu
%
< 0,01
< 0,04
< 0,05
< 0,08
5.
Komponen menguap
%
< 2
< 2
< 2,5
< 3

Mutu gondorukem ditentukan dari hasil pengujian warna gondorukem. Warna gondorukem ialah warna yang ditetapkan dibandingkan dengan warna standar Lovibond yang terdiri atas 15 warna (XC, XB, XA, X, WW, WG, N, M, K, I, H, G, F, E, dan D) (Badan Standardisasi Nasional,2001).
Kelas yang paling gelap yaitu kelas D digunakan untuk pembuatan minyak rosin, juga digunakan dalam industri linoleum dan vernis gelap. Kelas G dan K digunakan sebagai bahan “sizing” dalam industri sabun, bergantung pada kualitas sabun yang akan dibuat. Untuk kualitas sabun yang baik bahkan digunakan kelas yang berwarna lebih pucat. Kelas yang berwarna lebih pucat dari K terutama W – C dan W – W digunakan untuk pembuatan vernis yang berwarna pucat. Penggunaan gondorukem lainnya, antara lain sebagai bahan pembuatan “sealing wax”, bahan peledak dan sebagai bahan pengganti resin lainnya, untuk pelapis alat-alat yang dipegang tangan, sebagai bahan penggosok senar alat musik gesek, sebagai bahan pencampur dalam proses penyolderan, dalam pembuatan cat, tinta cetak, semen kertas, bahan pelitur kayu, plastik, kembang api, bahan waterproof untuk karton, dan sebagainya (Suryamiharja dan Buharman, 1986 dalam Prawira, 2008).

Negara yang menjadi sasaran ekspor gondorukem antara lain India, Amerika Serikat, Perancis, Kamerun, dan Belanda (Hadi, 2006). Pasar produk gondorukem dunia sebagian besar diserap oleh Aksonabel dari Belanda, Eropa, AS, dan India yang antara lain untuk bahan baku pembuatan tinta, cat, industri ban mobil, lem, dan vernis. Indonesia baru bias memenuhi kebutuhan gondorukem dunia kurang dari 10 persen.

Permintaan pasar internasional terhadap gondorukem Indonesia naik sejak akhir 2005. Hal ini disebabkan karena Pemerintah China menahan penjualan produk gondorukem keluar dari negaranya. Langkah China ini dilakukan untuk memenuhi pasokan gondorukem untuk industri dalam negeri sendiri yang dari tahun ke tahun terus meningkat.

Tingginya permintaan gondorukem ini juga dikarenakan keunggulan kualitas gondorukem Indonesia yang berasal dari pohon Pinus jenis Merkusi tersebut. Contohnya, keasamannya yang rendah dan kemampuannya menahan suhu tinggi, tingkat kelengketannya dan aromanya sangat disukai konsumen. Bidang usaha Perum Perhutani yang dimulai sejak tahun 1974 ini juga mampu menggairahkan perekonomian masyarakat dengan melibatkan mereka mulai dari pengadaan alat sadap (alat bacok dan batok kelapa), tenaga penyadap, angkutan, hingga kemasan/kaleng.

Pasar dunia saat ini cenderung mengalami peningkatan kebutuhan gondorukem, sehingga berapa pun produksi dunia langsung terserap oleh pasar. Permintaan yang tinggi tersebut mengakibatkan harga komoditas ini di pasar naik. Perum Perhutani menaikkan harga gondorukem mulai Januari 2006 ini dari 475 dollar AS per ton menjadi 750 dollar AS per ton. Kenaikan ini untuk mengantisipasi tingginya permintaan gondorukem di pasar dalam negeri maupun luar negeri belakangan ini.

Kenaikan ini sebetulnya karena kebutuhan pasar saja. Perum Perhutani berusaha menangkap peluang pasar yang ada. Perum Perhutani memiliki cukup dana untuk menanam kayu penghasil gondorukem dengan harga yang naik, sehingga meningkatkan jumlah produksi (Handadari, 2006 dalam Prawira, 2008).

Tahun 2006, Perum Perhutani berupaya meningkatkan produksi getah pinus sampai 20 persen dan produk gondorukem menjadi sekitar 70.000 ton. Peningkatan produksi itu, antara lain dengan menggunakan stimulan getah, ekspansi kerja sama ke luar Jawa dan penyadapan hutan pinus rakyat. Selain itu, peningkatan produksi dilakukan dengan memperpanjang daur tebang pinus dan riset bibit bocor getah bersama Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.

China kini merupakan produsen gondorukem terbesar di dunia dengan volume produksi mencapai 640.000 ton per tahun dan mengekspor sekitar 50 persen produksinya, sehingga mampu bertindak sebagai penentu harga gondorukem di pasar internasional. Perum Perhutani sebagai follower (pengikut) tidak dapat berbuat banyak karena harga jual ditentukan oleh China selaku penguasa pasar. Kendati demikian, Perum Perhutani terus mengamati celah-celah pasar yang ada agar harga jual produk dapat tetap terjaga bahkan meningkat. Direksi Perum Perhutani dalam berbagai pertemuan selalu menekankan harga gondorukem produksi BUMN di lingkungan kehutanan ini ditetapkan berdasarkan kekuatan pasok dan kebutuhan, biaya produksi, internal PHTI, dan misi perusahaan sebagai perusahaan sosial (Handadari, 2006 dalam Prawira, 2008).

III.  Teknologi Pengemasan Gondorukem
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan produk gondorukem adalah sifatnya yang mudah rusak terutama dalam rangka penyimpanan dan pengangkutannya ketika pengiriman. Oleh karena itu perlu dilakukan teknologi pengemasan untuk produk gondorukem yang dihasilkan.
Teknologi pengemasan gondorukem yang dihasilkan Perum Perhutani selama ini dilakukan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia dimana gondorukem disajikan dalam bentuk padatan, secara baik dan kuat dengan bahan yang dapat mempertahankan mutunya. Pengemasan dapat dilakukan dengan drum baja lapis seng tebal (BJLS) 25 atau berukuran tebal 0,25 mm. Berat bersih gondorukem (240 + 1,2) kg atau sesuai permintaan.

Untuk penandaannya, pada setiap drum kemasan gondorukem dicantumkan :
-      Nama barang
-      Produsen
-      Nomor produksi
-      Berat bersih
-      Mutu barang
-      Buatan Indonesia

Namun selama ini, kemasan dengan menggunakan drum sebagai kemasannya memberikan kendala dalam hal pengangkutannya, karena jumlah yang dapat ditata dalam container pengangkutan masih belum optimal. Karena bentuknya yang silinder, maka dalam penataannya, masih terdapat ruang kosong dalam container yang jika dihitung dapat memberikan penghasilan yang cukup banyak. Untuk mencari nilai tambah yang diinterpretasikan kenaikan nilai jual suatu produk yang disetujui atau dianggap penting oleh pembeli, maka perlu dilakukan inovasi dalam hal pengemasan gondorukem sehingga dalam pengangkutannya dapat lebih optimal dan aman atau terhindar dari kerusakan selama penyimpanan dan pengiriman.

Dengan adanya negoisasi dengan beberapa pembeli di dalam dan luar negeri untuk kemasan gondorukem, pada tahun 2008, dilakukan uji coba kemasan gondorukem dengan menggunakan kardus.

IV.   Teknologi Pengemasan Kardus untuk Gondorukem
Seperti telah dibahas pada bagian terdahulu, pemasaran produk Gondorukem pada umumnya dikemas dalam kemasan berbentuk Drum yang terbuat dari Baja Lapis Seng (BJLS) dengan ketebalan kemasan      0,25 mm.
Pada pemakaiannya kemasan produk Gondorukem harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditetapkan dengan maksud untuk menghindari terjadinya kerusakan mutu produk dalam pengiriman atau selama penyimpanan.
Pada tahun 2008, Pabrik Gondorukem di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah mencoba melakukan terobosan pembuatan alternatif Kemasan  sekaligus merupakan upaya menangkap peluang dan harapan pelanggannya atau dengan kata lain mencari nilai tambah dari pemasaran produk gondorukem. Terobosan yang dilakukan adalah dengan melaksanakan pembuatan kemasan produk Gondorukem Box dari Kertas Kardus/Karton ukuran 36 x 36 x 24 Cm berat @ 25 Kg. Beberapa kelebihan kemasan kardus @ 25 Kg ini disamping untuk memudahkan pengangkutan dan penjualannya juga kemasannya dapat didaur ulang, sehingga juga mengurangi pencemaran lingkungan.
Dalam pengirimannya Produk Gondorukem kemasan Box dipacking dengan menggunakan Pallet, dimana dalam satu Pallet berisi 3 x 3 x 4 Box = 36 Box (900 Kg), sedangkan dalam satu Container 20’ berisi 20 Pallet (18 Ton). Bilamana dalam satu container 20’ tanpa menggunakan Pallet dapat berisi 21,6 Ton atau 2,4 Ton lebih banyak dibanding dengan kemasan Drum (19,2 Ton).
Manfaat bagi Perum Perhutani terdapat efisiensi biaya kemasan sebesar   Rp. 41,6/Kg atau Rp. 41.600,-/Ton dan tambahan harga untuk Pasar Luar Negeri sebesar US$ 20/ton atau (Kurs 1 US$ = Rp. 9.000,-)                    Rp. 180.000,-/Ton, dan untuk pasar Dalam Negeri sebesar Rp. 1.020,-, sehingga total efisiensi setiap volume 1 Ton produk Gondorukem box sebesar Rp. 221.600,- untuk ekspor dan Rp. 1.061.600,- untuk penjualan Dalam Negeri.
Ujicoba pemasaran produk dalam rangka penjajagan pasar dunia telah dilakukan dengan negara tujuan ekspor :
-      Busan – Korea sebanyak 1 Container (FCL) oleh PT. Milatronika Surabaya,
-      Nava Seva – India sebanyak 1 FCL oleh PT. Alam Jaya Loka,
-      Casablanka – Maroko sebanyak 2 FCL oleh Alam Jaya Loka,
-      Keelung – Taiwan sebanyak 2 FCL oleh Triasagung.

Sedangkan untuk Pasar Dalam Negeri telah dipenuhi permintaan dari       PT. Wiwa Textile sebanyak 9,25 ton dengan harga Rp. 7.810.000,-/Ton atau lebih mahal Rp. 1.020,-/kg dibandingkan  dengan harga jual dasar yang berlaku di Perum Perhutani.

Langkah-langkah yang dilakukan merupakan upaya untuk memberikan Nilai tambah produk yang dihasilkan dari gondorukem produksi Perum Perhutani.
V.     Penutup
Dengan melakukan teknologi pada kemasan gondorukem untuk kepentingan ekspor, diperoleh beberapa nilai tambah untuk produk gondorukem yang dikemas dalam kemasan kardus yaitu :
-      Jumlah yang diekspor  dalam satu kali angkut lebih banyak
-      Penghasilan yang lebih tinggi
-     Peluang pencemaran lingkungan yang lebih rendah karena kemasan kardus dapat didaur ulang.
VI.   Daftar Pustaka

Anonim. 2008. SNI 01-5009.12-2001 (http://www.dephut.go.id/Halaman/ STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/SNI/Gondorukem.html). Diakses 20  Januari 2010
Anonim. 2009. Pabrik Gondorukem dan Terpentin (http://www.kbmink1.perumperhutani.com/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=34). Diakses 20 januari 2010
Gumbira, E.S. 1999. Manajemen Pasca Panen Produk Agribisnis dan Agroindustri untuk Ekspor. (http://www.akademik.unsri.ac.id/ download/journal/files/baijournal/Endang_Gumbira_Said_manajemen_pasca.pdf.) diakses 20 Januari 2010
 Prawira. 2008. Gondorukem  (http://yprawira01.blogspot.com/2008/10/gondokurem.html). Diakses 15 Januari 2010.
Teja. Muhammad A.S. 2008. Analisis industri dan pemilihan strategi untuk meningkatkan produksi gondorukem Perum Perhutani(http://elibrary.mb.ipb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=mbipb-12312421421421412-muhammadte-644&q=Hierarchy). Diakses 21 Januari 2010
READ MORE - Teknologi Pengemasan Gondorukem Dalam Rangka Meningkatkan Penjualan dan Menambah Penghasilan